Selasa, 13 September 2011

Puisi Taufik Ismail

Kerendahan Hati Oleh: Taufik Ismail Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak di puncak bukit Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, Jadi saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan. Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya Jadilah saja jalan kecil, Tetapi jalan setapak yang Membawa orang ke mata air Tidaklah semua menjadi kapten tentu ada awak kapalnya.... Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu Jadilah saja dirimu.... Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri
Palestina, Bagaimana Bisa Aku melupakanmu (karya Taufik Ismail) Ketika rumahmu diruntuhkan buldozer dengan suara-suara gemuruh menderu, serasa pasir dan batu bata di dinding kamar tidurku bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu yang berdarah Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat sebesar sapu tangan lalu Tel Aviv dimasukkan dalam fail lemari kantor agraria, serasa pohon kelapa dan kebun manggaku di kawasan katulistiwa yang dirampas mereka Ketika kiblat pertama gerek dan kerecaki bagai kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatu-sepatu serdadu menginjak tumpuan kening kita semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al Qur’an 40 tahun silam di bawahnya ada kolam ikan yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi air mataku Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu, Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka, menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit serasa anak-anak kami Indonesia jua yang didzalimi mereka– tapi saksikan tulang mida mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan rantai amat panjangnya, pembelit leher mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan Samir Al-Qassem, Harun Hashim, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, Jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar Lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami pun memancar ke atas lalu menuliskan guratan kaligrafi… ”Allahu Akbar!” Dan “Bebaskan Palestina!” Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu, Ketika pabrik tak bernama 1000 ton sepakan memproduksi dusta menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi ke padangpasir belantara, membangkangi resolusi-reolusi majelis-majelis terhormat di dunia membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yaseer Arafat dan semua pejuang negeri Anda, Aku pun berseru kepada khatib Dan imam shalat Jum’at sedunia: doakan kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang menapak di jalan-Nya yang ditembaki dan kini dalam penjara lalu dengan kukuh kita bacalah “Laa quuwwata illa bi-llah!” Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu Tanahku jauh, bila diukur kilometer, jumlahnya beribu-ribu, Tapi adzan masjid Aqsha yang merdu Serasa terdengar di telingaku 1989

2 komentar: