Diposkan oleh Komunitas Sahabat FbPS
DKI JAKARTA On 20.19
*****
Orang lalu bertanya-tanya: inikah akhir kejayaan keluarga Djojohadikusumo?
''I've been through the worst. Dan ini bukan yang pertama kali," ujarnya
tenang kepada wartawan TEMPO Setiyardi, Wicaksono, dan Hermien Y. Kleden, yang
mewawancarainya pekan lalu. Percakapan berlangsung dua kali: di kantornya, di
Jalan Kertanegara 4, Jakarta Pusat, dan di Hotel Dharmawangsa, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan. Berikut ini petikannya.
Bagaimana hubungan Anda dengan Pak Harto sekarang?
Dua hari setelah Pak Harto jatuh, saya mencoba menghubunginya. Saya selalu
melakukan itu bila ada kerabat atau kenalan yang sedang dilanda kesulitan.
Boleh tahu isi pembicaraan itu?
Kami tidak ketemu. Lewat ajudannya, saya mengatakan ingin bertemu. Biasanya
saya mendapat jawaban dalam dua hari. Satu minggu kemudian, saya mendapat jawaban,
''Bapak masih sibuk." Dua minggu kemudian, saya telepon lagi. Tetap tidak
ada tanggapan. Sejak itu, saya tidak pernah mau ketemu lagi.
Ada beban berbesan dengan Pak Harto?
Tahun-tahun pertama baik, tapi makin lama makin tidak baik. Tidak pernah
ada bentrokan. Saya memang menjaga jarak. Jadi, hubungan itu biasa saja, jauh
tidak, mesra juga tidak.
Melihat besan Anda dihujat sana-sini sekarang, apa yang Anda rasakan?
Tidak hanya sebagai besan, sebagai manusia tentu saya sedih. Masa, ada orang
terus-terusan dihujat? Kesalahan Pak Harto adalah dia terlalu percaya kepada
anak-anaknya dan terlalu percaya kepada cukongnya. Dia memang lemah terhadap
anak-anak, lebih-lebih setelah kepergian Ibu Tien. Dan semua anaknya itu dendam
kepada Bowo (Prabowo), kecuali Sigit yang agak netral.
Kabarnya, Anda pernah berucap, pernikahan Prabowo dengan Titiek Soeharto
adalah ''kesalahan sejarah" terbesar dalam hidup Anda?
Oh, tidak. Paling-paling historical accident, kecelakaan sejarah. Tapi mau
apa lagi? Saya tidak pernah campur tangan dengan kemauan anak-anak. Ini kan
bukan sesuatu yang direncanakan. Saya tidak pernah berpikir menjadi besan Pak
Harto. Hanya, kami memang memiliki latar belakang keluarga dan budaya yang
sangat berbeda. Keluarga saya sangat modern, semua anak hasil pendidikan luar
negeri, sementara Titiek kan dari sebuah keluarga yang sangat Jawa.
Anda menyesal?
Dari pihak saya tidak. Tapi mungkin dari istri saya. Tapi saya bilang
kepadanya, ''Biar kita serahkan ke anak-anak."
Bagaimana sebetulnya hubungan Prabowo dengan Keluarga Cendana?
Hubungan Bowo dengan anak-anak (Pak Harto) tidak baik, selalu bentrok, meski
tidak pernah sampai (tersiar) ke luar: bentrok dengan Tommy soal cengkeh,
dengan Mamiek soal helikopter. Anak-anak ini kemudian mempengaruhi bapaknya
sehingga Pak Harto akhirnya lebih percaya Sjafrie (Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin,
bekas Panglima Daerah Militer Jakarta Raya dan mantan pengawal Soeharto)
daripada Bowo. Yang paling akhir, Bowo dikhianati mertuanya sendiri. Sudahlah,
saya tidak mau memperpanjang. Nanti dikira dendam.
Dikhianati bagaimana?
Sebenarnya ide untuk melepaskan Prabowo dari pasukannya itu berasal dari
panglimanya, jadi dari Wiranto. Kita tahu, Wiranto dan Prabowo seperti ini
(mengadu kedua kepalan tangan). Bowo bilang, ''Waduh, orang yang saya bela kok
melepaskan saya dari pasukan begitu saja." Ia dilepaskan dari Kostrad
(Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) dan ditempatkan di Bandung. Itu
sangat mengecewakan Bowo.
Bukankah Prabowo juga dianggap berkhianat oleh Keluarga Cendana?
Pak Harto adalah Panglima Tertinggi (Pangti) ABRI. Jadi, kalau ada apa-apa,
Bowo harus membela Pangti. Tapi, waktu itu, Bowo akhirnya mengatakan, bila
rakyat menghendaki, Pak Harto akan turun, tapi harus konstitusional. Nah, itu
yang dianggap sebagai pengkhianatan oleh Keluarga Cendana.
Banyak tuduhan terhadap Prabowo, dari penculikan hingga usaha kudeta. Mana
yang Anda percayai?
Tidak ada yang saya percayai. Bahwa Bowo itu arogan, iya. Kesannya memang
begitu. Bahwa dia temperamental, iya. Tentang penculikan, dia memang menculik
sembilan orang itu. Tapi perintah penculikan itu kan dia dapat dari atasannya.
Siapa atasannya?
Ada tiga: Hartono, Feisal Tanjung, dan Pak Harto. Banyak jenderal yang
tahu, tapi tidak berani berbicara. Nanti di pengadilan bisa dibuka asalkan
pengadilannya benar-benar adil. Dari segi kemanusiaan, penculikan memang tidak
bisa diterima. Tapi, dari sudut ketentaraan, ini adalah perintah. Saya sendiri
sulit melihatnya dari sudut pandang mana.
Apa sikap keluarga setelah Prabowo disalahkan?
Dalam didikan saya, seseorang harus berani bertanggung jawab. Jangan salahkan
bawahan. Tanggung jawab itu yang akhirnya diambil alih Prabowo. Di depan Dewan
Kehormatan Militer, Bowo mengambil dokumen dari tasnya, lalu menunjukkan
sembilan orang yang diculik, yang ketika itu sudah dilepaskan.
Presiden Habibie pernah mengatakan, saat pergantian kekuasaan, Mei 1998,
Prabowo melakukan konsentrasi pasukan. Anda tahu apa yang terjadi?
Tentang hal itu, satu dari kedua orang ini mestinya berbohong: Wiranto atau
Habibie. Saya tidak tahu pertimbang-an Habibie berbicara seperti itu. Hubungan
saya dengan dia selalu baik. Habibie bahkan memberikan tasbihnya ke Prabowo.
Mungkin cari popularitas, atau dipengaruhi Letjen Sintong Panjaitan (kini
Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan atau Sesdalopbang), yang
menceritakan hal itu. Ini masih tanda tanya.
Ada kabar, Prabowo sempat memaksakan niat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat
(Kasad), bahkan Panglima ABRI.
Tidak benar itu. Saya tahu, ada banyak bawahan Bowo yang kecewa karena dia
tidak merebut kekuasaan. Kan, waktu itu dia pegang senjata. Saya bilang
kepadanya, ''Jangan! Percayalah kepada saya. Kalau ABRI pecah, negara ini akan
pecah."
Seberapa jauh Prabowo mendengarkan Anda?
Keluarga kami sangat dekat. Dalam hal Bowo, misalnya, dia memang mengalami
banyak cobaan. Dan kami mendukung semua upaya menegakkan keadilan. Kalau
melanggar, memang harus dihukum. Saya katakan ke Bowo, ''Pada hari-hari yang
gelap, jangan pernah berharap kepada orang yang pernah kamu tolong. Tapi akan
selalu datang bantuan dari siapa saja." Eh... benar! Ada telepon dari
Amman. Pangeran Abdullah—sekarang Raja Yordania—menelepon. Dia bilang, ''What
can I do? You're my friend."
Bagaimana kondisi hubungan Prabowo dan menantu Anda, Titiek, saat ini?
Masih tetap ada. Yang sulit sebetulnya Titiek. Apakah dia mau setia kepada
suaminya? Sementara, sebagai anak, kan dia juga masih setia kepada bapaknya?
Anda tanya dong ke Titiek.
Anda pernah meminta Prabowo pulang?
Tidak pernah. Semua terserah Bowo. Dia tahu keadaan dalam negeri. Dia harus
hidup. Dan untuk bisa hidup, dia harus mencari nafkah—yang sekarang kebetulan
di luar negeri.
Bagaimana Anda melihat persoalan putra Anda yang lain, Hashim, yang
bisnisnya ikut runtuh akhir-akhir ini?
Dalam keluarga kami, hanya dia yang berbakat menjadi pengusaha. Pribadinya juga
menarik, ramah, terbuka terhadap semua bangsa. Dan dia pandai beberapa bahasa
asing. Tentang bisnisnya, well, Hashim membuat kesalahan. Dia terlalu ekspansif
dan gagal. Tapi setiap orang membuat kesalahan. Dan Hashim perlu belajar dari
kesalahan itu.
Anda yakin Hashim bisa keluar dari kondisi buruk ini?
Yakin. Kondisi ini kan sebagian besar disebabkan oleh keadaan eksternal. Semua
orang terkena kesulitan. Dalam bisnis semen Cibinong, sebenarnya dia tidak
salah. Tapi, karena tidak ada yang membangun, jadi banyak kehilangan pembeli.
Ini yang menyebabkan usahanya macet. Dia terlalu cepat dalam ekspansi. Hashim
mengakui itu. Tapi saya tidak mau campur tangan secara intern.
Tampaknya Anda bangga betul kepada anak-anak?
Semua orang tua bangga kepada anak-anaknya. Dalam bahasa Jawa, ada istilah
wiryo kencono: seorang anak, biar dia seperti sampah pun, tetap harus kita
banggakan.
Dan mereka dididik dalam kebebasan. Prabowo masuk Akabri bahkan tanpa seizin
Anda. Mariani, putri kedua, kawin dengan orang Prancis....
Saya meniru konsep pendidikan orang tua saya. Orang tua saya termasuk generasi
yang berada pada masa peralihan, antara kehidupan modern yang lebih longgar dan
kehidupan tradisional di mana ikatan keluarga masih sangat kuat, di perbatasan.
Mereka hidup dalam dunia tradisional Jawa tapi menyiapkan anak-anak untuk
bertempur dengan dunia modern yang sangat keras—di mana setiap orang harus
mengambil tanggung jawab individual—sesuatu yang kemudian saya teruskan kepada
anak-anak saya. Mereka harus bisa mengambil keputusan sendiri dan membayar
konsekuensinya. Dengan suasana itu, saya tidak merasa sebagai kepala suku. Saya
bukan godfather mereka. Ha-ha-ha....
Masih tentang keluarga. Menantu Anda, Soedradjad Djiwandono, diberhentikan
dari jabatan Gubernur Bank Indonesia, Februari 1998. Apakah ada keputusan
keluarga di balik peristiwa itu?
Ah, enggak. Saya cuma mengatakan, ''Sekarang kamu harus mengikuti hati nurani.
Kalau naluri itu benar, tidak apa-apa. Kalau tidak, lebih baik mundur."
Dia kan tidak sepakat dengan Presiden Soeharto soal CBS (currency board
system). Juga sebelumnya ada beberapa soal lain.
Apakah ada kebiasaan rapat keluarga bila menghadapi soal-soal besar?
Tidak pernah. Sebab, saya percaya, semua anggota keluarga itu tidak sama.
Sebagai keluarga, kami memang dekat dan kompak. Seperti sekarang, Hashim dan
Prabowo dekat sekali. Kalau dihujat, kami bersatu. Setelah itu, tentu
masing-masing harus mengembangkan keinginan dan kehidupannya sendiri.
Anda terpukul dengan semua cobaan pada keluarga?
Saya tidak merasa terpukul, walau orang bilang saya terpukul. Terpukul oleh
apa? Oleh serpihan-serpihan ini?
Oleh semua soal beruntun di atas, soal Prabowo, Hashim, Soedradjad. Keluarga
Djojohadikusumo seolah tengah mengalami keruntuhan akhir-akhir ini.
I've been through the worst. Dan ini bukan yang pertama kali. Pada 1957, selama
10 tahun saya menjadi buron di luar negeri, hidup berpindah-pindah dari satu
negara ke negara lain tanpa uang dan paspor. Saya pernah menjadi tukang mebel
dan membuat lemari es besar sewaktu di Malaysia. Saya berkeliling dari satu
negara ke negara lain dengan empat anak yang tengah tumbuh. What could be worse
than that?
Itu berlangsung semasa Anda terlibat PRRI?
Begini, sebelum pindah ke PRRI, saya merasa hendak ditangkap. Apa-apaan ini?
Saya bilang kepada istri, saya tidak mau ditangkap, karena merasa tidak
bersalah. Akhirnya saya putuskan bergabung dengan PRRI. Dua hari sebelum
berangkat, saya berbicara dengan Sutan Sjahrir. Saya bilang, ''Bung, saya mau
hijrah dan bergabung dengan daerah." Sjahrir mengatakan, ''Oke, Cum. Tapi
kok daerah seperti tersingkir sendiri. Ada Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan
Garuda. Usahakan semua itu agar bisa bersatu." Ceritera ini belum pernah
saya buka. Anda yang pertama mendapatkannya.
Apa yang terjadi setelah itu?
Saya ke Palembang, terus ke Padang, Pekanbaru, Bengkalis. Dari sini, saya
menyamar menjadi kelasi kapal menuju Singapura. Di sana, saya lari dari kapal,
terus ke Saigon, Manila, terus ke Manado. Di situ, saya berbicara dengan semua
pihak, kemudian dibentuk sebuah front nasional.
Anda tidak percaya dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga
memutuskan ke PRRI?
Saya selalu percaya kepada Persatuan Indonesia. Sewaktu PRRI mau mendirikan
Republik Persatuan Indonesia, mereka tidak mau memasukkan Pulau Jawa ke
dalamnya. Saya menegaskan, ''Kalau begitu, saya tidak ikut karena negara kita
satu." Mereka menolak, dan saya ke luar. Karena tak mungkin pulang ke Jakarta,
saya pergi ke luar negeri, dan menjadi buron 10 tahun. Saya tidak mau kembali.
Waktu itu, adalah orang-orang Partai Sosialis Indonesia (PSI) sendiri, kecuali
Sjahrir, yang mendesak agar saya diadili. Saya bilang, justru mereka yang harus
diadili.
Siapa saja mereka?
Saya tidak mau menyebut nama. Nanti bikin onar.
Perpecahan itu tentu menyakitkan?
Sakit, tapi saya tetap pada pendirian bahwa masyarakat berada pada posisi
sentral. Negara yang harus mengabdi kepada rakyat, bukan sebaliknya. Tapi
sudahlah, mereka di sana, saya di sini. Saya punya prinsip sendiri. Filosof
Nietzsche mengatakan, ''Eagles do not catch mosquitos" (elang pantang
menyambar nyamuk).
Apa alasan utama Anda ke PRRI?
Ada rupa-rupa pertimbangan, dari timbulnya kesadaran bahwa pusat selalu mengabaikan
daerah—misalnya kontrol devisa, di mana selama ini devisa selalu dihabiskan di
Jakarta—sampai friksi antara Bung Karno dan PSI serta makin dekatnya tokoh PKI
D.N. Aidit dengan Bung Karno. Ini juga yang menimbulkan perlawanan
daerah-daerah—sesuatu yang sedang berlangsung sekarang.
Siapa yang mau menangkap Anda?
D.N. Aidit dan PKI. Saya mendapat berita dari intelijen saya sendiri bahwa
Politbiro PKI menganggap Sumitro sebagai salah satu musuh besarnya sehingga
harus dimusnahkan.
Sakitkah peristiwa pelarian 10 tahun itu? Atau justru Anda bahagia karena
jadi punya banyak pengalaman?
Bahagiakah orang yang menjadi buron, dimaki-maki, berpindah-pindah negara,
tanpa paspor, uang, dan kewarganegaraan, tanpa bisa memastikan apa yang akan
terjadi setelah itu?
Kembali ke soal PRRI. Bukahkah Bung Sjahrir kemudian mengirim Djoir Muhammad
untuk membujuk Anda kembali?
Djoir tidak pernah bertemu dengan saya. Kemudian Sjahrir mengirim lagi
orang lain, Djohan (Sjahrusa), ke Singapura. Tapi dia tidak bertemu dengan
saya. Namun saya katakan, saya tidak mungkin kembali. Setiap kali saya masuk
kabinet—entah Natsir, Wilopo—saya dibilang bukan wakil PSI. Kalau pas gagal,
mereka bilang itu kesalahan saya. Kalau berhasil, mereka bilang, "Dia
(Sumitro) orang kita." Bagaimana itu?
Benarkah PRRI mendapat suplai senjata dari Central Intelligence Agency (CIA)
atau Dinas Rahasia Amerika?
Sebagian. Senjata yang lain dibeli di Phuket, Thailand, dan Taiwan. Saya tahu
George Kahin (profesor dari Universitas Cornell) mengatakan saya orang CIA. Dia
benar-benar ngawur. Banyak orang CIA justru benci saya. Memang benar ada kontak
dengan CIA, intelijen Korea, Prancis. Ini kan gerakan bawah tanah.
Apakah CIA juga mendesain pola gerakan PRRI?
Tidak sejauh itu. Mereka hanya membantu. Yang mendesain orang-orang kita
sendiri. Kelemahan PRRI adalah cenderung menganggap diri sebagai gerakan
militer, sehingga lemah di politik. Kelemahan lain: terlalu banyak kepentingan
daerah yang masuk.
Ada yang menilai Anda oportunis: melarikan diri di kala ada soal di Tanah
Air, lalu kembali setelah rezim berganti dan berjaya di Orde Baru.
Well, saya rasa itu sikap pragmatis, bukan oportunistis. Secara prinsip, saya
konsisten. Pada tingkat aplikasi, bisa berubah-ubah. Di situ letak
pragmatismenya. Boleh saja kita menggunakan teori kapitalisme untuk sosialisme.
Bagaimana hubungan Anda dengan Bung Karno?
Baik. Sampai sekarang, saya tidak pernah menjelek-jelekkan Bung Karno, tidak
satu kata pun, walau saya tahu Bung Karno menghujat saya. Bagi saya, dia
''Pemimpin yang Besar", bukan ''Pemimpin Besar". Dia jenius dalam
politik, dan menyatukan negara ini. Dia luar biasa.
Lalu dengan Bung Sjahrir? Kan, Anda bergabung dengan PSI karena merasa cocok
dengan pemikirannya?
Saya masuk PSI tahun 1950. Dan saya memang cocok dengan pemikiran Sjahrir
tentang sosialisme humanitarian: negara adalah pelindung rakyat, bukan
sebaliknya. Kemudian saya berpisah dengan PSI—tidak dengan Sjahrir—karena tidak
tahan dengan kelompok-kelompok di sekitarnya yang merasa diri sebagai Sjahrir-Sjahrir
kecil. Mereka terus-menerus omong tentang ideologi tanpa mewujudkan ideologi
itu dalam real politics. Nah, setelah di PSI itu, saya ke PRRI.
Dan setelah ke PRRI—serta masa pelarian—Anda kembali ke Indonesia? Apakah
Soeharto meminta Anda kembali?
Pada 1966, Soeharto mengirim Ali Moertopo mencari saya di luar negeri. Pak
Harto butuh penasihat ekonomi karena Widjojo dan lain-lain masih muda-muda. Ali
mencari kiri-kanan, tapi tidak berhasil. Sebagai buron, saya kan lebih mahir,
ha-ha-ha.… Akhirnya, kami ketemu di Bangkok, November 1966, dipertemukan Sugeng
Djarot, atase pertahanan kita di sana. Saya diminta kembali. Saya terima
tawaran itu dan kembali pada Juli 1967.
Kapan Anda dipanggil ke istana?
Mei 1968. Kami berbasa-basi. Dia tanya, ''Pak Mitro asli mana?" Saya
jawab, ''Dari Banyumas." Dia meminta saya membantu dalam kabinet, sebagai
ahli. Dia juga mengatakan masih harus membicarakannya dengan rekan-rekannya di
ABRI karena ada yang belum sreg: bekas pemberontak kok mau masuk kabinet.
Saya bilang kepada Pak Harto, ''Oke, sekarang toh saya sudah membantu juga
dengan analisis ekonomi. Saya tidak perlu kedudukan." Waktu 8 Juni 1966
Pak Harto mengumumkan kabinet, ternyata saya menjadi Menteri Perdagangan.
Keadaan ekonomi kita waktu itu amburadul. Seluruh ekspor hanya Rp 500 juta,
inflasi 650 persen, dan cadangan devisa hanya Rp 20 juta.
Apa penyebab utama kegagalan rezim Orde Baru, menurut Anda?
Pelanggaran terhadap seluruh kaidah kerakyatan kita (suara Sumitro pelan
dan bergetar). Kita mengatakan semua ini untuk rakyat, tapi tak pernah
melibatkan mereka. Seperti pepatah Prancis, pour vous, sur vous, sans
vous—untuk Anda, tentang Anda, (tapi) tanpa Anda. Kita mengatur ekonomi yang
ditataniagakan. Padahal ekonomi itu simpel saja sebetulnya.
Sesimpel apa?
Sesimpel tenaga manusia, alam, modal, serta sains dan teknologi. Empat itu
saja. Jangan diperas-peras. Cengkeh, tebu, cendana, jeruk, semua itu kegiatan
rakyat. Eh, malah ditataniagakan. Nilai tambahnya bukan untuk rakyat. Yang
terjadi selama puluhan tahun seperti ini: kekayaan alam dikuras, tenaga manusia
diperas, modal ditanam seenaknya, dan teknologi salah arah.
Anda pernah berbicara dengan Pak Harto soal ini?
Sering, beberapa tahun lalu, tapi lagi-lagi seperti pepatah: always hear, but
never listen—selalu mendengar, tapi tidak menyimak. Selama 10 tahun pertama,
Pak Harto masih baik.
Sebagai salah satu arsitek ekonomi Orde Baru, apakah Anda kecewa dengan
keadaan sekarang?
Arsiteknya itu Widjojo (Nitisastro) dengan Mafia Berkeley-nya. Saya dan Prof.
Sadli hanya ''satria pendamping". Pada mulanya inflasi kita 700 persen per
tahun. Itu bisa kita kuasai. Infrastuktur kita bangun. Sayang, kemudian tidak
ada kontrol sosial. DPR tidak berfungsi. Dan keruntuhan itu pelan-pelan
terjadi, jauh sebelum sekarang.
Anda masih percaya kepada desain Orde Baru setelah segala keruntuhan ini?
Desainnya tidak salah. Implementasinya yang melanggar, seperti soal pemerataan
dan kestabilan. Desain ekonomi Orde Baru kan berpokok pada pertumbuhan,
kestabilan, dan pemerataan. Selama 10 tahun pertama, semuanya oke, kemudian
mulai rusak.
Pada 1975, Anda menulis buku Indonesia Towards Year 2000. Apakah bayangan
Anda terbukti benar?
Saya tidak pernah meramalkan akan terjadi krisis moneter seperti sekarang.
Namun, secara keseluruhan, trend-nya benar, lepas dari akurasi statistiknya.
Saya katakan, misalnya, Pulau Jawa akan gawat—bukan dalam soal pangan, tapi
soal air dan permukiman. Kondisi pengadaan pangan bahkan lebih baik dari
perkiraan saya. Saya tidak pernah memperkirakan kita akan pernah berswasembada
beras pada 1985.