Kamis, 19 September 2019

JAWARA, JARO DAN JUARA DALAM KEINDONESIAAN KITA


Ketika kita mendengar melihat dan membaca tentang kata Jawara maka yang terbersit dalam pikiran kita adalah mengarah kepada sesosok orang, tinggi besar, berkumis, pakaian serba hitam tak lupa terselip dipinggang golok yang siap diayunkan untuk memenggal siapapun yang menggangu atasnya, bahkan para jawara senantisa dikelilingi oleh perempuan-perempuan cantik sebagai perlambang kejantanannya, “jago wadon lan luhur”(tukang main perempuan dan tukang bohong)”jago wadon lan harta” tukang main perempuan dan tamak harta,  benarkah demikian? Dan  kenapa demikian buruknya persepsi sebagian kita terhadap jawara?
Atau adakah yang sengaja membuat persepsi  se-negatif ini? Atau bahkan memang kita tidak memahami benar tentang apa, seperti apa dan bagaimana awal mula seseorang disebut sebagai Jawara? Apalagi ketika kita berada pada wilayah Banten yang cukup banyak Jawara-Jawara, kenapa demikian?
Nah ini yang kemudian membuat penulis melakukan penelitian sederhana yang pada akhirnya menemukan beberapa hal yang sesungguhnya membuat penulis semakin yakin bahwa Jawara itu tidak bisa dipersepsikan negatif pada seseorang yang mendapatkan gelar tersebut, dan mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat menjadikan kita semua dan pembaca lainya atau para Jawara yang membacanya akan lebih arif dan lebih bijak dalam melangkah jika sudah mendapatkan gelar Jawara.
Baiklah mari kita awali dahulu tentang  apa siapa dan sepertiapa jawara itu, menurut salah seorng dekan UIN Maulana Hasanudin, Banten disampaikan bahwa jawara itu adalah murid dari para Kyai,  pada masa revolusi dahulu ketika melawan penjajahan dalam rangka bela negara untuk mempertahankan kedaulatan suatu wilayah para Kyai mempertahankan wilayah kepanjangan tangan dari Kasultanan di wilayahnya masing-masing, sehingga para murid disamping dibekali ilmu agama mereka juga diajarkan bela diri olah kanoragan, disamping itu para Kyai memiliki Pesantren-pesantren sebagai benteng terakhir untuk memobilisasi masa ketika Kasultanan Banten mendapat gempurn sangat dahsyat dari para penjajah baik bangsa Portugis maupun Belanda sehingga dalam budaya Banten waktu itu Jawara adalah khodim (pembantu) nya Kyai, atau lebih terkenal dengan sebutan Juwara/jawara iku tentrane kiyai (jawara itu tentaranya para Kyai).

Pergeseran makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif terjadi pada abad ke 19 ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh kekacauan dan perampokan yang tiada tara. Hal ini kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dimanfaatkan untuk membentuk stigma negatif kepada para pejuang dari kalangan pendekar persilatan dan kaum ulama. Stigma negatif ini sengaja diciptakan Belanda dalam upaya memprovokasi masyarakat untuk menganggap mereka sebagai     pembuat onar, pengacau, dan perampok. Sehingga mencap semua kaum jawara adalah bandit   dalam bentuk gerakan sosial, yang bermaksud melawan penjajahan asing dianggap sebagai onsluten (keonaran), ongergeldheden (pemberontakan), complot (komplotan), woelingen (kekacauan), dan onrust (ketidak amanan). Sejak saat itulah para pendekar persilatan dan ulama yang mengadakan perlawanan dianggap sebagai jawara, yang merupakan akronim dari jalma wani nga-rampog (orang yang berani merampok) atau orang yang berani menipu/pembohong (jalma wani nga-rahul). Konotasi negatif ini terus berkembang sampai abad ke 20, dan hingga kini tidak sedikit masyarakat yang termakan oleh stigma negatif penjajah Belanda tersebut.
Seiring dengan perkembangan waktu, Jawara yang merasa citranya terjebak dalam konotasi negatif masyarakat yang diciptakan Belanda, berusaha mengcounter dengan istilah jalma jago nu wani ramah (orang yang jagoan berani dan ramah). Tentu ada pula segelintir jawara yang memiliki perilaku negatif, namun hal ini dapat diselesaikan di dalam internal kelompok “kejawaraan” nya itu sendiri. Umunya dalam suatu organisasi kejawaraan terdapat aturan-aturan yang bersifat konvesional untuk menyelesaikan permasalahan, terutama terhadap jawara yang berperilaku negatif.


Jawara, Jagoan, dan Preman
Belum adanya pencatatan histographia mengenai awal mula kemunculan istilah jawara di masyarakat Banten dan Jawa bagian Barat, menyulitkan untuk diketahui secara pasti kapan dan dimana penggunaan istilah Jawara ini diberikan kepada seseorang yang memiliki kunggulan fisik dan supranatural, dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalannya. Begitupun halnya dengan istilah jawara itu sendiri. Penyusuran proses kemunculan istilah jawara baru terbatas pada sejarah sosial (budaya tutur) bersifat stamboom bukan geschiedenis atau history, yang secara akademis sukar untuk dipertanggung jawabkan.
Istilah jawara muncul sebagaimana yang diungkapkan RM Taufik Djajadiningrat, tatkala dimulainya pembangunan Jalan Raya Pos Deandles (1808-1811) antara Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan yang sangat merugikan rakyat ini menimbulkan pemberontakan dikalangan para pendekar persilatan, dikenal dengan peristiwa Perang Pertama. Dari peristiwa pemberontakan ini memunculkan julukan jawara yang ditujukan kepada mereka.
Dari stamboom yang ada, sebagian besar masyarakat sepakat untuk menunjuk daerah Banten sebagai tempat dimana istilah ini pertama kali muncul, karena jawara merupakan salah satu entitas masyarakat Banten yang sangat terkenal. Hingga dalam perkembangannya menyebar ke beberapa daerah yang melingkupinya termasuk Betawi, Bekasi-Pantura, Bogor dan Priangan bersamaan dengan dimulainya proyek pembangunan Jalan Raya Pos Deandles (RM. Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan Banten, 1995 : 121-122).
Pada awalnya istilah jawara memiliki makna sebagai jagoan, dengan pengertian jago dalam menyabung ayam dan bela diri pencak silat. Selain itu, mereka pun memiliki kemampuan untuk mempertontonkan ilmu kekebalan. Kemampuan-kemampuan itu dipergunakan oleh para jawara untuk membela dan menciptakan rasa aman dan ketenangan di lingkungannya. Kemampuan itu mereka miliki karena kedudukannya sebagai pemimpin informal di tengah-tengah masyarakat, baik semasa kerajaan Sunda, kesultanan Banten, maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Secara umum jawara memiliki definisi sebagai orang yang memiliki kepandaian bermain silat dan memiliki keterampilan-keterampilan tertentu. Berbeda dengan perampok atau pencuri, mereka adalah figur seorang yang mampu menjaga keselamatan dan keamanan desa, sehingga karenanya masyarakat menghormati keberadaan mereka. Pada umumnya, jawara sangat patuh kepada ulama, karena semangat dalam jiwa mereka diperoleh dari para kaum ulama. Di tanah Betawi sendiri hampir memiliki makna yang sama, namun istilah jawara bagi masyarakat natif Betawi berangkat dari istilah  “potong letter” lidah natif Betawi yaitu juware atau juara yang tidak terkalahkan dalam hal bela diri “maenpukulan” atau pencak silat.
Berbeda dengan Jagoan, kata ini berasal dari kata dasar “jago” yang menurut Ridwan Saidi merupakan loanword dari bahasa Portugis Jogo yang artinya champion atau juara (Ridwan Saidi, Glosari Betawi: 43). Disisi lain menurut tradisi lisan, jago merupakan istilah yang agak umum bagi golongan “tukang pukul” dan seorang yang suka berkelahi. Jagoan bernada lebih positif ketimbang istilah preman pada masa kini. Jagoan adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang berpengaruh dan disegani di kampungnya, orang yang kuat, tukang pukul dan pemberani. Secara hirarki, jagoan dianggap lebih rendah kedudukannya dibanding jawara. Karena sebagaimana seperti yang disebutkan di atas, jawara dapat dikatakan sebagai istilah lain dari pendekar, ksatria yang ditokohkan masyarakat sebagai orang yang suka memberikan perlindungan dan keselamatan secara fisik terhadap masyarakat, juga dianggap sebagai orang yang dituakan atau sesepuh.
Lalu bagaimana dengan preman?. Secara etimologi preman merupakan loanword dari bahasa Belanda, Vrijman yang bermakna “orang bebas” atau dalam bahasa Inggris disebut free man. Dalam Kamus Bahasa Indonesia akan kita temukan paling tidak 3 arti kata preman, yaitu: 1. swasta, partikelir, non pemerintah, bukan tentara, sipil. 2. sebutan orang jahat (yang suka memeras dan melakukan kejahatan) 3. kuli yang bekerja menggarap sawah. Secara umum istilah preman dapat disimpulkan sebagai sebutan pejoratif (kata sandang merendahkan) yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.
        Dari tiga terminologi di atas, hendaknya kita masih dapat membedakan makna, fungsi dan peranan masing-masing dalam masyarakat. Sehingga kita tidak terburu-buru untuk menjustifikasi seseorang berdasar perilakunya.

Jaro dalam terminologi Masyarakat Banten
          Baru-baru ini telah dideklarasikan Jaro Banten pada tanggal 11 September 2018 di Pendopo Masjid Ats Tsaurah Kota Serang beberapa tokoh Banten seperti Embay Mulya Syarif, Taufik Nuriman, Taufiqurrahman Ruki, A’eng Khairudin telah mendeklarasikan Jaro Banten dengan taglinne “ Jawara Banten Kabula, Kabale, Kabalandongan, dengan tujuan utamanya adalah untuk menyatukan Urang Banten dimanapun berada. Dari deklarasi tersebut sebetulnya dapat ditafsirkan bahwa ada keterkaitan antara jawara disatu sisi dan jaro disisi lain bagai mata uang yang tidak dapat dipisahkan,
          Namun demikian bagaimanakah hubungan antara Jaro dan Jawara tersebut, dapat dilihat apa yang telah disampikan oleh htttp://mbungsu4.blogspot.com/2011 dalam tulisan tersebut disampaikan  Jaro adalah Kepala Desa/Lurah pada masa Kasultanan Maulana Hasanudin di Banten, sehingga Jaro adalah Umaro yang menjalankan pemerintahan daerah sebagai jalur dari Kasultanan Banten, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Jaro dan Jawara satu kesatuan dalam tingkatan pemerintahan terendah pada masa itu.

          Jika ditarik kesimpulannya  Jawara/Tentrane Kyai, Jaro/Lurah/Kepala Desa adalah sebuah sistem pemerintahan untuk tujuan utamanya dalam rangka menysukseskan program Kasultanan Banten pada masa itu dan masih kental pada masa sekarang, sebagai buktinya adalah telah beberapa kali dilakukan deklarasi Jaro untuk dukungan secara informal dalam proses kelancaran pemerintahan pada masa ini dan masa mendatang terutama di Wilayah Banten yang sangat religius dari pedesaan sampai perkotaan.
          Maka dari itulah setelah kita memahami tentang apa itu jawara, juara dan jaro dalam sudut pandang kultural di wilayah Banten, tentunhya kita semua sebagai masyarakat Indonesia yang  cinta NKRI akan memahami bahwa sangat besar peran serta para Jawara untuk cita-cita Kemerdekaan Republik Indonesia, maka wajib bagi kita untuk selalu mikul dhuwur mendem jero (silahkan dapat di lihat di blog saya tentang ini) para jawara agar semakin lengkap khasanah kebangsaan pada diri kita dan tidak mendikotomikan antara jawara, jaro dan juwara pada sebuah negara besar Indonesia.


foto lokasi : Caping Park Baturraden, Purwokerto, Jateng.