Jumat, 15 Agustus 2014

Ayah Aku Pinjam Uang Sepuluhribu



Pada suatu hari seorang Ayah pulang dari bekerja pukul 21.00 malam. Seperti hari-hari sebelumnya, hari itu sangat melelahkan baginya. Sesampainya di rumah ia mendapati anaknya yang berusia 8 tahun yang duduk di kelas 2 SD sudah menunggunya di depan pintu rumah. Sepertinya ia sudah menunggu lama.
“Kok belum tidur?” sapa sang Ayah pada anaknya.
Biasanya si anak sudah lelap ketika ia pulang kerja, dan baru bangun ketika ia akan bersiap berangkat ke kantor di pagi hari.
“Aku menunggu Ayah pulang, karena aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?”, kata sang anak.
“Lho, tumben, kok nanya gaji ayah segala? Kamu mau minta uang lagi ya?”, jawab sang Ayah.
“Ah, nggak yah, aku sekedar pengin tahu aja… “ kata anaknya. “Oke, kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Jadi gaji ayah satu bulan berapa, hayo ?”, tanya sang ayah.
Si anak kemudian berlari mengambil kertas dari meja belajar sementara Ayahnya melepas sepatu dan mengambil minuman.
Ketika sang Ayah ke kamar untuk berganti pakaian, sang anak mengikutinya.
“Jadi kalau satu hari Ayah dibayar Rp. 400.000,- untuk  10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp. 40.000,- dong ! “
“Kamu pinter….., sekarang tidur ya… sudah malam !”
Tapi sang anak tidak mau beranjak. “ Ayah, aku boleh pinjam uang Rp. 10.000,- nggak ?”
“ Sudah malam nak, buat apa minta uang malam-malam begini. Sudah, besok pagi saja. Sekarang kamu tidur”
“ Tapi ayah…”
“ Sudah, sekarang tidur” suara sang Ayah mulai meninggi.
Anak kecil itu berbalik menuju kamarnya.
Sang Ayah tampak menyesali ucapanya. Tak lama kemudian ia menghampiri anaknya di kamar. Anak itu sedang terisak-isak sambil memegang uang Rp. 30.000,-.
Sambil mengelus kepala sang anak, ayahnya berkata “ Maafin ayah ya kenapa kamu minta uang malam-malam begini..
Besokkan masih bisa jangankan Rp. 10.000, lebih dari itu juga boleh. Kamu pakai buat beli mainan khan?”
“ Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam… nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajanku.”
“Iya… iya…  tapi buat apa ?? “ tanya sang Ayah.
“ Aku menunggu ayah pulang hari ini dari jam 8. Aku mau ajak ayah main ulat tangga. Satu jam saja yah, aku mohon. Ibu sering bilang, kalau waktu Ayah sangat berharga. Jadi aku mau beli waktu Ayah. Aku buka tabunganku, tapi Cuma ada uang Rp. 30.000,-. Tadi Ayah bilang , untuk satu jam Ayah dibayar Rp. 40.000,-. Karena uang tabunganku hanya Rp. 30.000,- dan itu tidak cukup, aku mau pinjam Rp. 10.000,- dari Ayah ,” sang Ayah Cuma terdiam.
Ia kehilangan kata-kata. Ia pun memeluk erat anak kecil itu sambil menangis. Mendengar perkataan anaknya, sang Ayah langsung terdiam, ia seketika terenyuh, kehilangan kata-kata dan menangis…
Ia lalu segera merangkul sang anak yang disayanginya itu sambil mengis dan minta maaf pada sang anak…
“Maafkan Ayah saying….” ujar sang Ayah.
“ Ayah telah khilaf, selama ini ayah lupa untuk apa ayah bekerja keras. Maafkan ayah anakku” kata sang Ayah ditengah suara tangisnya.
Si anak hanya diam membisu dalam dekapan sang Ayah.
 

Sudaraku sekalian, kisah ini sebuah kisah yang inspiratif mungkin juga anda pernah membaca bebarapa kisah lain yang lebih dari sekedar kisah ini tapi mari kita sekedar mengingat ingat seberapa besar peran serta kita sebagai ayah dalam pola pembentukan kepribadian anak-anak kita, penulis yakin anda semua adalah ayah-ayah teladan yang bisa bersama-sama bunda anak-anak kita bahu membahu membentuk dan mengarahkan sampai menjelang dewasa.
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadany: “ Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mepersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar,” (QS. Luqman (31) ayat 13 )
Ayat ini, bersama dengan ayat-ayat serupa (al-Baqarah 132, Yusuf 67) bercerita tentang para ayah (Luqman, Nabi Ya’kub, dan Nabi Ibrahim) yang sedang mendidik anak-anaknya.
Ternya proses pendidikan dalam keluarga, yang digambarkan melalui al-Qur’an dilakukan oleh para ayah. Tidak ada satu ayatpun yang memotret momen pendidikan dari para Ibu ( Ibu ada peran lain yang tidak kalah hebat he he he ), kecuali adanya perintah menyusui tanpa menafikan tugas amar maruf nahi mungkar yang sifatnya umum, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
 
Dalam sebuah hadist Rasulallah Muhammad SAW pernah bersabda, “ Seorang Ayah yang mendidik anak-anaknya adalah lebih baik daripada bersedah sebesar 1 sa’ di jalan Allah.” Nabi pun mencontohkan, bahkan ketika beliau sedang disibukan dengan urusan menghadap Allah SWT (shalat), beliau tidak menyuruh orang lain (atau kaum perempuan) untuk menjaga  kedua cucunya yang masih kanak-kanak, Hasan dan Husein.
Mari kita cermati sejarah Islam dalam pendidikan anak, dalam buku ‘al-Muhaddithat; The Women Scholars In Islam, Mohammad Akram Nadwi memberikan banyak contoh bagaimana para ulama kita menyediakan waktu untuk pendidikan putra-putrinya sebagaimana mereka meluangkan waktu untuk tugas-tugas lainnya.
Abu Bakar Ahmad bin Kamil bin Khalaf bin Syajarah al-Baghdadi (350H), misalnya senantiasa mantau pendidikan putrinya, Amat as-Salam (Ummu al-Fath, 390 H) ditengah kesibukannya sebagai hakim, hafalan hadist Amat as-Salam bahkan selalu dicatat oleh sang ayah.
Contoh lain bisa kita dapati dari riwayat pakar pendidikan Islam Ibnu Sahnun (256 H). Disebutkannya, Hakim Isa  bin Miskin selalu memanggil dua putrinya setelah shalat Ashar untuk diajari al-Quran dan ilmu pengetahuan lainnya.
Demekian pula dengan Asad bin al-Furah, panglima perang yang menaklukan kota Sicily, ternyata juga mendidik sendiri putrinya. Nama lain yang tercatat dalam sejarah adalah Syaikh al-Qurra, Abu Dawud Sulayman bin Abi Qasim al-Andalusi (496 H) dan Imam ‘Ala al-din al-Samarqandi (539 H).

Bagaimana dengan kondisi masyarakat kita hari ini ? semua pengurusan anak dibebankan pada istri, dan menghabiskan waktunya untuk urusan di luar rumah?. Seorang dokter yang sangat sibuk  ternyata begitu antusias mendidik para mahasiswa kedokterannya dan bahkan berceramah keliling nusantara, namun  bagaimana mungkin  dia menjadi loyo dan beralasan tidak punya waktu ketika harus mendidik anak-anaknya sendiri ?.

Apakah ini juga berbanding lurus dengan kenakalan remaja dan kerusakan generasi menjadi kian parah, sebab para ayah hebat kita – pengacara terkenal, hakim agung, pengusaha sukses, termasuk beberapa ustadz yang luar biasa dalam dakwah – terlalu sibuk mendidik orang lain dan menyepelekan kewajiban untuk mendidik anak-anaknya.
Mari dihari ulang tahun Kemerdekaan Rebublik Indonesia 17 Agustus 2014 ini, bantu Bunda mendidik anak-anak, karena ia asset sangat berharga, #saveIndonesia.

*) disarikan dari berbagai sumber

Metro Lampung, 15 Agustus 2014