Judul di atas sebetulnya sebuah fragmen
sandiwara radio di era tahun 80-an dan penulis waktu itu masih kecil SD dan
SMPan, diperankan oleh Peang dan Penjol artis radio dari Banyumas tepatnya Purwokerto
tentu saja berlogat ngapak.
Pada
masa itu hiburan tidak sejamak seperti sekarang, untuk mendapatkan atau
mendengarkan setiap hiburan radio atau taperecorder diperlukan biaya cukup
besar harga radio dan tape recorder tidak dianggap murah, dari pada membelinya
alangkah baiknya digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer terlebih dahulu, dan
ini menjadi ciri sebuah wilayah atau padusunan yang memprioritaskan terpenting
dari kebutuhan kurang penting hiburan misalnya gak penting-penting amat, maka
orang yang sudah bisa menikmati hiburan berarti dia sudah tercukupi seluruh
kebutuhan primer, sekundernya sangat berbeda seperti jaman sekarang lebih suka
lapar, dan berteduh tidur dengan tiker daripada tidak exis ya nggak, atau FOMO (Fear
Missing Out) jadi tidak jalan dong.
Maka cara paling mudah dan murah adalah nebeng
di tetangga yang memilikinya alat tersebut, wah Bahasa nebeng ini bahaya gak
yah, tapi nebeng itu memang ada sejak dahulu bahwa sejatinya kita tidak punya,
maka numpang/nebeng pada yang punya itu hal biasa, kan cuman ndengerin dari
radio, tapi kalau nebeng naik pesawat nah saya tidak paham itu, udah biarkan
saja mereka yang lebih paham.
Baiklah kita Kembali pada topik bahwa pentas
seni, drama jaman itu masih sedikit, di daerah saya yang paling mahal adalah
pertunjukan wayang kulit ini mewah semua tumplek blek penjual pedagang umkm,
bahkan sampai penjudi ada perputaran uang di pergelaran wayang semalam suntuk
sangat tinggi dan ekonomi warga makin hidup jika selalu diadakan, berbeda
dengan sekarang pertunjukan artis salalu dengan membayar mahal, pertunjukan
balap motor atau mobil harus membeli tiket, semua yang mendapatkan keuntungan
hanya orang-orang berduit, akhirnya kemakmuran hanya berputar pada orang-orang
itu saja.