Lalu lalang kehidupan dunia membuat
setiap manusia berjalan kesagala arah untuk menggapai tujuannya masing-masing,
berbagai cara dan alat digunakan untuk melakukan penempuhan
perjalanan-perjalanan tersebut dari ujung pulau ke pulau lain, atau dari ujung
dunia ke dunia lain, semua mereka lakukan untuk satu tujuan yang diangankan dan
diciptakan baik secara individu atuapun kelompok golongan tertentu. Tak
dipungkiri bahwa masing-masing tujuan dari setiap individu dan kelompok ada
sedikit kesamaan atau bahkan satu tujuan yang sama telah direncanakan
sebelumnya.
Andaikan sebuah tujuan itu dapat
pasti terealisasi maka setiap kita tidak perlu susah-susah merencanakan
langkah-langkah untuk mencapainya seperti dalam kisah Nabi Nuh AS membutuhkan
waktu 950 tahun untuk meyakinkan umatnya
mempercayai sang pencipta,
andaikan tujuan itu dapat diketahui dari sejak awal tidak Perlu Bandung
Bondowoso kerja keras menciptakan 1000 arca sebagai syarat untuk memimang Gadis
Langsing/Rara Jongrang, begitu juga D’Artagnan dalam Novel The Three Masketeer buat apa
membawa surat referensi dari ayahnya untuk menemui komandan pasukan Masketeer De Treville, toh akhirnya
ketemu dengan Tiga Pasukan Infantri Perancis (masketeer) Arhos, Porthos dan
Aramis, dan buat apa Minke dalam Novel Bumi Manusia harus menikahi Anelis toh
akhirnya meninggal dan mayatnya pun harus dikubur di Nederland. Ini semua
sebagai bukti bahwa kita tidak mempunyai kekuasaan atas penentuan keberhasilan
sebuah tujuan yang direncanakan secara matang. Pada akhir dakwah Nabi Nuh As
hanya mendapatkan 80 orang pengikut walau 950 tahun telah ikhlas dan sabar
menyebarkan ajaran Kemaha Esaan Tuhan.
Buat apa Bandung Bondowoso
capek-capek membuat arca 1000 ternyata Roro Jonggrang pun menjadi pelengkap
1000 arca karena kurang satu arca, begitu juga akhirnya tanpa surat referensi
dari ayahnya D’Artagnan pun bertemu dengan Masketeer, dan paling menyedihkan
adalah mayat Anelis istri Mingke harus dikirim ke Holand, sementara Minke
sebagai pribumi tidak dapat berbuat apa-apa kisah Mingke ini ada dalam
Tetralogi Roman Gubahan Pramudya Anantatur dan sudah difilmkan.
Maka dalam konteks kemanusiaan yang
ada pada diri kita tentunya akan bermakna ganda jika tidak dapat memahami
tentang hakekat kehidupan, dari mana , untuk apa dan akan kemana. Proses
metomorfosis manusia dari pertama lahir sampai meninggal adalah merupakan proses
yang tidak bisa untuk dihidari mau tidak mau suka tidak suka akan mengalami
proses dari mana kita dilahirkan, untuk apa kita berada didunia dan setelahnya
akan kemana kita setelah mati.
Tekun, Teken dan Tekan adalah salah satu
budaya luhur jawa sebagai salah satu cara agar manusia dapat memehami hakekat
dari kehidupan di alam dunia sebelum menuju alam akherat kelak. Tekun
sesungguhnya dapat dipadankan pada keseriusan dalam menjalankan laku lampah
untuk sesuatu tujuan yang sudah direncanakan, keseriusan dengan diberengi
kesabaran yang seksama dilakukan setahap-demi setahap tahan atas godaan baik
godaan atas iming-iming sebuah kedudukan yang lebih tinggi atau godaan dari
para pesaing bisnis, atau bahkan godaan yang datangnya dari dalam diri ini
yaitu nafsu ingin mendapatkan sesuatu dengan cepat, serba instan ingin cepat
sampai kepada tujuan, atau bahkan godaan ini berada pada sekitar kita sendiri,
keluarga, anak, istri bagkan godaan juga melekat pada orang tua, misalnya dalam
sebuah karir ternyata dibanding-bandingkan dengan tempat kerja kebanyakan
orang, inilah itulah, sampai pada masalah materi,dia kok bisa begitu kamu kok
tidak bisa, dia bisa seperti itu kok kamu tidak seperti dia. Jika godaan
seperti tersebut dapat dilalui sesungguhya langkah selanjutnya adalah menunggu
keputusan dari sang Maha Kuasa, karena segala ketusan akhir tentang hasil
pekerjaan berada pada penguasa langit dan bumi.
Seteleh Tekun, maka apa maksud dari
Teken itu, jikalau anda adalah pendaki gunung maka tongkat dalam rangka
penyeimbang pendakian, atau tongkat pendaki untuk membuat langkah kita dalam
mendaki tetap tegak lurus tidak terjadi goncangan ataupun terjatuh maka dalam
bahasa jawa tongkat adalah teken, atau kalau ada orang tua yang sudah berumur
untuk menyeimbangkan langkah supaya tidak terjatuh menggunakan tongkat/teken
tersebut. Nah maka dalam filosofi jawa Teken itu adalah untuk menjaga agar
langkah setiap manusia tetap lurus, tidak boleh bengkok, tidak boleh melenceng
tidak boleh miring kanan tau kiri, artinya setelah memiliki ketekunan yang
seksama maka agar ketekunan itu berjalan terus dan tetap istiqamah
menjalankannya maka ditopang teken jejeg ajeg, lurus, tanpa goyah tanpa ada
menceng/melenceng dari tujuan, teken ini menguatkan atas langkah kedepan, Tekun
dan Teken akan menjadikan langkah setiap insan bejalan sesuai dengan aturan
Illahiyah untuk sebuah tujuan.
Sebelum memahami pada kata terakhir
yaitu Tekan, alangkah baiknya penulis sampaikan terlebih dahulu bahwa, Tekun
dan Teken ini sesungguhnya pemaknaan dalam konteks langkah kegiatan mengarah
pada sifat positif artinya kedua hal tersebut hanya dapat dilakukan pada
perbuatan-perbuatan atau kegiatan yang pada tujuan akhirnya adalah untuk
kemaslahatan dan kebaikan, Tekun dan Teken tidak dapat dilakukan untuk yang
bersifat perbuatan negatif, contohnya untuk kejahatan maka lakukan dengan tekun
dan teken membuat perencanaan dalam rangka berbuat jahat pada orang, maka akan
mental/mantul dengan sendirinya atau akan gagal dengan sendirinya silahkan
kalau ingin mencoba, he he. Sebab apa demikian karena ruh dari Tekun dan Teken
adalah positif tidak bertemu jika negatif.
Maka sebelum pada tingkat akhir dari
felosofi jawa yaitu Tekan, sebetulnya dari awal tulisan ini sudah penulis
sampaikan bahwa bagaimana perjuagan Nabu Nuh Alaihisalam tekun berdakwah 950
tahun dan tetap tegak/teken tanpa tergoyahkan menyampaikan Nur Illahiyah, begitu
juga Tekun dan Tekenya Bandung Bondowoso untuk berusaha membuat 1000 arca, dan
Mingke mendampingi istirinya yang berdarah ningrat Belanda sampai pada akhir
hayatnya, dan tidak kalah tekun dan tekenya D Artagnan mencari Masketeer semua
dilakukan tanpa goyah teken lurus sesuai
ruh positif, oleh karena itu yang perlu kita fahami bahwa ternyata Tekun dan
Teken nya seseorang dan bahkan sekaliber Nabi seperti apa yang dilakukan oleh
Nabi Nuh AS menandakan terkait
keberhasilan, kesuksesan tercapainya sebuah tujuan adalah bukan wilayah kita, bukan wewenang
kita, tetapi ada yang Maha Kuasa untuk menentukan keberhasilan seseorang,
bukankah demikian? Dapatkah kita melihat dan memperhatikan ada apa yang terjadi besok hari? Dapatkah
kita memastikan kapan kita mati? Apakah kita dapat memastikan bahwa kita akan
tetap muda umurnya? Atau begini saja tau kah kita apa yang dilakukan di alam
kandungan sewaktu dikandung oleh bunda selama sembilan bulan sepuluh hari?
Bukankah kita sewaktu dalam kandungan sudah bernyawa? Kenapa kemudian ketika
lahir kedunia tidak ingat semua apa yang dilakukan di kandungan? Ada yang bisa
menjelaskan dengan rumus matematika? Atau pakailah teori apa rumus apa untuk
menjelaskan hal tersebut?
Nah maka dalam bahasan filosofi jawa
selanjutnya sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan logika tersebut diatas, pasti ada yang Maha Kuasa atas tata
surya ini bahkan dengan melihat tata surya dunia dan seisinya gunung yang
indah, air terjun, lautan, sungai yang megah, deburan ombah, semilir angin
sesungguhnya bagi orang-orang berfikir disitulah tanda-tanda kebesaranNya, kebesaran sang
Pencipta yang tidak dapat dibatasi oleh raung dan waktu, tidak dapat di batasi
oleh media, oleh sebab itu Tekan dalam terminologi jawa adalah sampai pada
tujuan yang ingin dicapai, sampai pada angan-angan cita pada suatu waktu
tertentu, untuk mencapai Tekan ini adalah bukan wewenang kita sebagai manausia,
untuk mencapai sebuah tujuan kehidupan itu bukan pada kita manusia yang
menentukan, tetapi itu adalah wewenangNYa, arti sesungguhnya dalah Tekun dan Teken adalah
model sebuah usaha kita sebagai manausia dan untuk Tekan untuk sampai pada
tujuan ada pada Tuhan Semesta Alam, Nabi Nuh AS berdakwah 950 tahun hasilnya
hanya 80 pengikut, Bandung Bondowoso membuat Arca 1000 hasilnya Roro Jonggrang
menjadi Arca Keseribu, Dartagnan membawa
surat wasiat hasilnya malah tanpa surat itu dia ketemu dengan Three Masketeer,
Mingke yang menikah akhirnya mayat istrinya harus balik ke Nederland.
Maka sebagai penutup Tekun, Teken dan
Tekan adalah sebuah budaya adiluhung yang diciptakan oleh leluhur kita
berdasarkan laku lampah ratusan tahun
guna memahami akan arti hidup manusia dari mana asal kita, untuk apa kita diciptakan dan akan
kemana setelah ini. Tekun, Teken, Tekan prinsip hidup Jawa, yang tidak untuk
membuat lebih tinggi dari yang lain, akan tetapi justru untuk tunduk dan patuh
atas perintahNya. Wallahu Alam.