Ini Kembang Turi Putih...
Sebuah petuah dakwah diuntai dalam indahnya tembang lagu yang populer di tatar Jawa oleh Kanjeng Sunan Giri, menandakan seni dikalangan wali sanggo adalah diwujudkan untuk penyebaran pemikiran Islam pada waktu itu, dan kemudian akan terkenang untuk tetap dilaksanakan oleh Umat Islam.
Tembang "Turi Turi Putih" ini sejatinya sebuah gambaran proses kematian orang sampai pada liang kubur dan proses selanjutnya ketika manusia berada pada alam kubur, indah dan mudah dihafal tembang ini bagi kalangan masyarakat jawa pada umumnya, mari kita cerna tembang tersebut :
“Turi-turi
putih,
Ditandur
neng kebon agung,
Turi-turi
putih
Ditandur
ning kebon agung
Cumleret
tiba nyemplung
Gumlundhung
kembange apa,
Mbok
ira,
Mbok
ira,
Mbok
ira,
Kembange
apa?”
Adakah yang bisa mencerna dan memahami maknanya? nanti dilanjut....
Jumat, 01 November 2013
Jumat, 18 Oktober 2013
Bambu Runcing Tetaplah Runcing
Eforia
sebuah kemenangan bisa menjadi gegap gembita dan berjalan sedemikian rupa
sampai pada tingkatan bahwa kemenangan sejatinya bisa dibuat dan bisa
diciptakan manakala serius menangani sebuah perhelatan atau iven tertentu. Tapi
hal ini akan menjadi sirna tanpa hasil untuk sebuah kemenangan jika ternyata
pesimisme sudah bergelayut dipelupuk mata atau di dada ini, patut
dipertimbangkan dan ditanamkan kepada para prajurit atau skuod atau sekelompok
pemain atau partai sekalipun bahwa kemenangan ini juga sebetulnya adalah tidak
hanya konsumsi hati, tapi juga konsumsi pikiran perasaan dalam wilayah
psikologi, langkah utama adalah meng-optimisme-kan sehingga kemenangan itu
ibarat sesuatu yang mudah untuk didapatkan.
Maka
kemudian ketika pertarungan Bambu Runcing dan Gingseng ( Indonesia vs Korea )
sebetulnya mudah untuk mengaduk-aduk pola pikir masyarakat bahwa Bambu Runcing
itu dahsyat dibanding Gingseng, bambu itu kuat tajam dan runcing lagi, maka
skuad Merah Putih bisa diberikan semangat seperti ketika perang gerilya jaman
Panglima Besar Jendral Sudirman, tidak memiliki fasilitas apa-apa tapi bisa
menggentarkan penjajajah, begitu juga skuad-skuad kita yang lain bahwa sejak
dahalu Indonesia itu sudah terbiasa dengan tidak memiliki fasilitas tetapi
semangat untuk menegakan Merah Putih tertanam begitu erat dalam pikiran
psikologi masyarakat. Maka kemudian tulisan saya di blog ini dengan judul “Dondong Opo Salak” sebetulnya
hanya menjadi stimulan untuk fokus bahwa Merah Putih harus tetap tegak dengan
kondisi apapun.
Sesungguhnya
ada yang menarik dalam konteks ke-Indonesiaan kita dari waktu ke waktu, dimana
sebuah perjalanan negara ini sebetulnya menjadi lebih maju dari jaman pertama
kali kita merdeka, walau kemudian kemajuan tidak hanya diukur dari berjejernya
gedung-gedung bertingkat di perkotaan, tetapi sesungguhnya kemajuan itu juga
terletak pada bagaimana pola pikir masyarakat sudah semakin cerdas semakin pintar
menganalisa semakin pintar berkarya, ini adalah point terpenting dalam
perhelatan ke depan memandang Indonesia, mari kita lihat murid-murid Taman
Kanak-Kanak di jaman sekarang mereka diajarkan untuk berkompetensi disegala
bidang, disetiap lomba mereka lakukan dengan semangat bahwa saya harus juara, walaupun dia
sesungguhnya tidak tau juara berapa, yang penting dapat piala dari sekolahnya
dan tertulis Juara I lomba bla bla bla, dan piala tersebut dibawa pulang.
Ketika
ditanya juara berapa nak tadi lombanya pasti jawab Juara Satu tuh pialanya, he
he he, menarik buat saya pribadi tentang hal ini, si anak tidak tau bahwa
sesungguhnya dia juara atau tidak juara dalam lomba tersebut, atau anak sengaja
untuk tidak diberitahu kreteria juara itu seperti apa yang penting juara titik.
Padahal sesungguhnya guru TK tersebut menawarkan kepada orang tua murid yang
mengikuti lomba, Ibu-Ibu mau buat piala juara berapa? Kalau juara satu segini,
juara dua selisihnya hanya segini, maka ibu-ibu orang tua murid pun bagai
paduan suara kompak juara satu saja buguru, gubrak..... jadi semua anak TK itu
Juara Satu semua, satu sekolah hebat kan.
Yang
menarik disini adalah anak-anak TK tersebut sudah diajarkan untuk menjadi
juara, mental pemenang sudah diajarkan, pokoknya juara, yang lebih menarik
sekali ternyata disini ada unsur bisnis bagi guru-guru TK tersebut, bayangkan
satu piala untung Rp. 25.000,- kali 100 murid berapa bro 2.500.000, untuk
setiap perlombaan, kalau dalam satu bulan ada 5 perlombaan maka 5 kali
2.500.000 berapa tuh 12.500.000, dahsyat guru-guru TK ini.....
Saya
pun mesem-mesem ketika istri saya bercerita sambil senyum-senyum bahwa Ade (panggilan untuk anak saya yang ke
7) ikut lomba menendang bola masukin ke gawang kecil, dari 5 bola hanya masuk
gawang 2 kok juara 1 pialanya besar pula, ya realnya juara harapan 1, seperti
yang saya utarakan tadi diatas, materi yang dilombakan bagus menendang bola
masukan ke gawang karena ini mencoba melatih motorik anak yang masih belum
berumur 7 tahun agar menimbulkan konsentrasi, ternyata anak2 seumuran anak saya
tersebut memang belum sinkron antara motorik dan kemauan otak, kemudian melatih
juga untuk konsentrasi anak terhadap sesuatu, hasilnya anak2 ini belum bisa
berkonsentrasi belum bisa fokus lebih cenderung konsentrasi pada permaianan
saja, nanti kita bahas deh.
Kembali
kepersoalan tadi, bahwa memang mental juara itu harus ditanamkan sedini mungkin
pada anak2 balita, terlepas disini ada unsur bisnis piala, untuk sementara kita biarkan saja dulu, tapi
visi TK ini jelas bahwa menciptakan anak menjadi juara, berani bertanding
sedini mungkin, berani bersaing sedini mungkin, berani menunjukan kemampuan
masing2 walau hanya menendang bola, ini hal yang positif dalam kancah
ke-Indonesiaan kita. Maka kami sepakat saya, Istri saya dan kakak2nya ade,
ciptakan psikologis bahwa Ade juara, Adek pintar, Ade Pemenang, Ade berani
bertanding, Ade mandiri, Ade kuat, di rumahpun berjejer piala juara satu semua,
walau ternyata Ade ini selalu kalau mau berangkat sekolah dibangunin susahnya
minta ampun, setengah lapan baru bangun , sholat subuh cuci muka doang di
wastafel, sekali lagi inilah ke-Indonesiaan kita yang patut kita banggakan
untuk meraih masa depan penuh ceria.
Sehingga
Bumbu Runcing ini akan tetap runcing, walau ada usaha-usaha menumpulkannya
secara seistematis, SaveIndonesia.
Batam, 13
Dzulhijjah 1434 H.
Sabtu, 28 September 2013
Barter Cinta
Cinta itu sesungguhnya bukan hal yang bisa disepelekan, karena sejak dunia ini lahir sesungguhnya lahir pula apa itu cinta. Artinya bahwa sebuah kehidupan tanpa ada cinta maka tidak sepurna kehidupan itu, bahkan cenderung gersang, keras, tanpa ada kelembutan atau bahkan sampai pada tinggkatan bahwa kehidupan hakiki sesungguhnya adalah cinta itu sendiri.
Berpulang dari definisi cinta bahwa saling memiliki, kasih sayang, saling pengerten atau pengertian saling bantu meringankan, memberikan solusi, saling memahami, adalah merupakan unsur-unsur agar cinta tetap bersemi, tentu saja sebuah cinta tak ada harganya jika hanya diukur dengan pemberian materi, karena jika ukurannya adalah materi maka sangatlah dangkal dan ringan. Semisal adalah ketika kasus korupsi mencuat akhir2 ini ada kalangan oknum jenderal polisi, ada kalangan anggota dewan, pengusaha, artis semua ternyata awal nya adalah cinta pada sebuah materi yang akhirnya berujung pada bui, apa arti sebuah cinta kalau kemudian ternyata pembelian honda jazz dari hasil korupsi? apa arti sebuah cinta kalau ternyata pembelian rumah-rumah mewah, tanah ber hektar-hektar, tapi ternyata ujungnya adalah masuk bui? Manisnya sebuah cinta tak bisa diukur dengan banyaknya materi yang telah didapat, indahnaya cinta tidak bisa dibarter dengan sekeping uang logam, atau satu kardus mi kuah, atau satu hektar tanah sekalipun.
Hanya karena cinta Bandung Bondowoso malahan mengkutuk yang dicintainya menjadi patung, apakah arti sesunguhnya dari cinta itu?
Dikarenakan cinta itu tidak bisa dibarter, maka ketika Rasulallah Muhammad SAW ditawari kemewahan dunia wanita dan kedudukan dalam sebuah kerajaan sekaligus menjadi raja, asalkan mau membarter aqidahnya dengan aqidah kafir qurais, hari ini kami menyembah tuhanmu dan besok kamu menyembah tuhan kami begitu kira-kira tawaran ini untuk diganti dengan kemewahan dunia kepada baginda Rasulullah.
Berpulang dari definisi cinta bahwa saling memiliki, kasih sayang, saling pengerten atau pengertian saling bantu meringankan, memberikan solusi, saling memahami, adalah merupakan unsur-unsur agar cinta tetap bersemi, tentu saja sebuah cinta tak ada harganya jika hanya diukur dengan pemberian materi, karena jika ukurannya adalah materi maka sangatlah dangkal dan ringan. Semisal adalah ketika kasus korupsi mencuat akhir2 ini ada kalangan oknum jenderal polisi, ada kalangan anggota dewan, pengusaha, artis semua ternyata awal nya adalah cinta pada sebuah materi yang akhirnya berujung pada bui, apa arti sebuah cinta kalau kemudian ternyata pembelian honda jazz dari hasil korupsi? apa arti sebuah cinta kalau ternyata pembelian rumah-rumah mewah, tanah ber hektar-hektar, tapi ternyata ujungnya adalah masuk bui? Manisnya sebuah cinta tak bisa diukur dengan banyaknya materi yang telah didapat, indahnaya cinta tidak bisa dibarter dengan sekeping uang logam, atau satu kardus mi kuah, atau satu hektar tanah sekalipun.
Hanya karena cinta Bandung Bondowoso malahan mengkutuk yang dicintainya menjadi patung, apakah arti sesunguhnya dari cinta itu?
Dikarenakan cinta itu tidak bisa dibarter, maka ketika Rasulallah Muhammad SAW ditawari kemewahan dunia wanita dan kedudukan dalam sebuah kerajaan sekaligus menjadi raja, asalkan mau membarter aqidahnya dengan aqidah kafir qurais, hari ini kami menyembah tuhanmu dan besok kamu menyembah tuhan kami begitu kira-kira tawaran ini untuk diganti dengan kemewahan dunia kepada baginda Rasulullah.
Rabu, 18 September 2013
Termometer cinta
Sepertinya menjadi aneh apa hubungan antara cinta dan termometer, ini bukan lagi mengikuti tren baru penyataan kata dengan kata yg lain agar lebih keren, terkesan modern bahkan bukan modernnya yg didapat tapi kekurang fahaman si pembuat pernyataan dalam penyatuan kosa kata tersebut akhirnya menjadi rancu, ya labil ekonomi begitulah he he.
Sesunghuhnya ini adalah suatu alat ukur untuk mengatahui kondisi suhu tubuh seseorang ketika demam tak kunjung reda, maka termometerlah alat yang tepat, tapi sebuah alat ukur ini jika disambungkan dalam gabungan kata akan menimbulkan arti tersendiri dalam pemaknaan yang lebih baik atau malah rancu gak jelas, anehnya justru yang rancu menjadi terkenak seperti saat ini. Saya bukan guru bahasa Indonesia, jadi mari kita tilik kembali termometer cinta sebuah penggabungan dua kata untuk melihat mengukur seberapa besarnya cinta, seberapa dalamnya cinta atau bahkan seberapa luasnya cinta.
Berbicara cinta, keris empu gandring dalam cerita lokal kerajaan jawa dahulu, bisa membunuh pembuatnya Empu Gandring dia sendiri, bisa membunuh lawannya, dan akhirnya membunuh si pemilik keris tersebut yaitu Ken Arok lantaran cintanya pada Ken Dedes, sehingga cinta itu ternyata membutakan yang jelas-jelas nyata dan membuat nyata yang jelas-jelas buta, oleh karenanya termometer cinta itu adalah untuk mengukur berapa derajat cinta seseorang pada sesuatu, tidak hanya cinta pada lawan jenis saja.
Bagaimana tidak, cinta ini meraung kencang ketika berhubungan dengan hak pribadi seseorang, tetepi cinta ini drajat celciusnya menjadi kecil manakala tidak terkait dengan kepentingan pribadinya.
Pada suatu kesempatan ketika Rasulullah Muhammad SAW mencanangkan hijrah ke Madinah, maka Rasul bersabda " innamal amalu binniyat..." ada kaedah cinta yang memamg terjadi terjadi dalam prosesi hijrah ini, siapa yang hijrahnya kerena cinta Allah dan Rasul maka dapatlah Allah dan Rasulnya, ternyata ada seorang pemuda yang hijrahnya karena kecintaan pada seorang wanita maka dapatlah wanita itu.
Disinilah termometer cinta berlaku ukuran derajat celsius cinta kepada Allah adalah yang tertinggi, baru Rasul dan kemudian orang2 beriman. Maka kemudian ketika cinta terukur dengan celcius yg rendah berarti telah mulai dingin diumur yanh semakin senja, maka yang harus segera dievaluasi adalah diri kita dan yg harus segera direvisi adalah termometernya, fisik seseorang pasti trus berubah dari waktu kewaktu, sehingga agar termometer itu tetap memancarkan cinta dengan derajat celcius tinggi, bersepakatlah bahwa termoternya segera diganti dg termometer seumuran dg fisik kita, yang sering terjadi dan menggejala di kehidupan hedonis adalah mengganti termometer yg masih baru, padahal fisik sudah tak sanggup lagi.
Sepertinya akan menjadi hambar bahwa cinta berbalut termometer itu hanya sebatas ukuran celcius saja.
Sebuah cinta akan menjadi langgeng sampai kemudian hari adalah diperlukan kesepakatan, kapan kita akan mengganti termometer yang seumuran dengan kita dan pasangan, karena cinta bukan sekedar ucapan tapi cinta bisa terukur, sehingga cnta hakiki adalah milik Illahi Rabbi. Wallahu alam
Berbicara cinta, keris empu gandring dalam cerita lokal kerajaan jawa dahulu, bisa membunuh pembuatnya Empu Gandring dia sendiri, bisa membunuh lawannya, dan akhirnya membunuh si pemilik keris tersebut yaitu Ken Arok lantaran cintanya pada Ken Dedes, sehingga cinta itu ternyata membutakan yang jelas-jelas nyata dan membuat nyata yang jelas-jelas buta, oleh karenanya termometer cinta itu adalah untuk mengukur berapa derajat cinta seseorang pada sesuatu, tidak hanya cinta pada lawan jenis saja.
Bagaimana tidak, cinta ini meraung kencang ketika berhubungan dengan hak pribadi seseorang, tetepi cinta ini drajat celciusnya menjadi kecil manakala tidak terkait dengan kepentingan pribadinya.
Pada suatu kesempatan ketika Rasulullah Muhammad SAW mencanangkan hijrah ke Madinah, maka Rasul bersabda " innamal amalu binniyat..." ada kaedah cinta yang memamg terjadi terjadi dalam prosesi hijrah ini, siapa yang hijrahnya kerena cinta Allah dan Rasul maka dapatlah Allah dan Rasulnya, ternyata ada seorang pemuda yang hijrahnya karena kecintaan pada seorang wanita maka dapatlah wanita itu.
Disinilah termometer cinta berlaku ukuran derajat celsius cinta kepada Allah adalah yang tertinggi, baru Rasul dan kemudian orang2 beriman. Maka kemudian ketika cinta terukur dengan celcius yg rendah berarti telah mulai dingin diumur yanh semakin senja, maka yang harus segera dievaluasi adalah diri kita dan yg harus segera direvisi adalah termometernya, fisik seseorang pasti trus berubah dari waktu kewaktu, sehingga agar termometer itu tetap memancarkan cinta dengan derajat celcius tinggi, bersepakatlah bahwa termoternya segera diganti dg termometer seumuran dg fisik kita, yang sering terjadi dan menggejala di kehidupan hedonis adalah mengganti termometer yg masih baru, padahal fisik sudah tak sanggup lagi.
Sepertinya akan menjadi hambar bahwa cinta berbalut termometer itu hanya sebatas ukuran celcius saja.
Sebuah cinta akan menjadi langgeng sampai kemudian hari adalah diperlukan kesepakatan, kapan kita akan mengganti termometer yang seumuran dengan kita dan pasangan, karena cinta bukan sekedar ucapan tapi cinta bisa terukur, sehingga cnta hakiki adalah milik Illahi Rabbi. Wallahu alam
Senin, 16 September 2013
Menangis bukan karena bersedih
Secara naluri bahwa menangis adalah manifestasi sebuah kesedihan yang amat dalam bagi manusia, tapi dalam prosesi menangis itu dibutuhkan niat yang kuat atau bahkan peningkatan adrenalin dari hari-hari biasanya. Sugguhpun demikian bahwa mereka yang biasa menangis itu ternyata konon lebih stabil emosinya jika menghadapi suatu hal yang sangat berat. Maka seandainya dalam hidup ini tidak terdapat suara tangisan sepertinya dunia ini menjadi tak berirama, tapi tangisan itu akan menjadi harmoni tersendiri jika alunan irama kehidupan pun bergelayut menampakan kegembiraan atau kesedihan atau kesengsaraan atau kemiskinan atau keserakahan atau kemunafikan atau keberingasan atau juga kasih sayang kelemahlembutan rayuan, pujian, pengharapan keindahan, kesuksesan, semua ini adalah beberapa hal yang dominan membuat orang menangis.
Ada yang menarik dalam pembicaraan menangis ini, yaitu"menagis bukan karena bersedih" sangat kontradiktif bukan?
Sebab secara umum bahwa tangisan itu awalnya adalah sebuah kesedihan ini menangis bukan karena bersedih pastilah sangat menarik untuk dibahas, apalagi di perkembangan jaman sekarang yang "berbeda" itu menjadi daya tarik tetsendiri, atau memang masyarakat kita sudah semakin cerdas, yang nyleneh menjadi tren di media. Contohnya jelas-jelas seseorang itu tidak ada bukti melakukan kesalahan yang mengarah kepada yang bersangkutan kok dijeblosin penjara. Orang yang jelas kasat mata melakukan kesalahan sesuai bukti hukum, tidak diapa2kan, menunggu pengadilan akherat kali ya.
Atau sebuah nyawa manusia pada hari ini sudah tidak ada harganya sama sekali, belum terbukti bahwa dia melakukan kejahatan, langsung dibunuh, padahal baru terduga, apakah tidak sudah tidak ada airmatanya, melihat hal seperti ini terus terjadi? Bagaimana jika hal tersebut menimpa dirinya atau sanak familinya adakah rasa tangisnya akan membuncah?
Jadi teringat Mr. Kasman Singodimejo mantan jaksa, atau Hugeng mantan kapolri, atau ingat Baharudin Lopa mantan jaksa agung, semua yg diatas tak akan terjadi jika penegak hukum bertiga di atas masih hidup. Saya jadi berfikiran jelek, apakah terbunuhnya seorang yg "terduga" bla bla terkait dengan sebuah "proyek" satu orang mati terduga dapat hibah milyaran dollar misalnya, tapi apakah tidak ingat bahwa perbuatan di dunia akandi balas di akherat kelak? Atau memang sudah tak ada airmata untuk dikeluarkan karena melihat dollar milyaran? Maka menangis bukan karena bersedih menjadi relefan untuk selalu dibahas, bahwa sesungguhnya hidup ini cuman tinggal menunggu di absen balik ke pemiliknya, bahwa hidup ini sekedar mampir untuk minum, menaruh kembali gelasnya pada tempat yang benar, lalu silahkan antri tunggu giliran pemanghilan yang setiap manusia tidak tahu kapan dipanggilnya.
Oleh karenanya menangis bukan karena bersedih menjadi pemicu di dunia ini, sudah kah kita mempersiapkan bekal sebelum diabsen masuk ke kelas berikutnya? Jangan sampai rapot kita diterima dengan tangan kiri, tangankanan terikat erat tak berdaya, alangkah sedihnya kita jika kemudiansepanjang hidup ini tangan kanan tetikat tak berdaya unt menerima rapot kehidupan, artinya menangis bukan karena bersedih menjadi mutlak kita fahami bahwa di balik kehidupan dunia, masih ada kehidupan atau kelas lain yg harus kita ikuti, sanggupkah? Wallahu alam.
Ada yang menarik dalam pembicaraan menangis ini, yaitu"menagis bukan karena bersedih" sangat kontradiktif bukan?
Sebab secara umum bahwa tangisan itu awalnya adalah sebuah kesedihan ini menangis bukan karena bersedih pastilah sangat menarik untuk dibahas, apalagi di perkembangan jaman sekarang yang "berbeda" itu menjadi daya tarik tetsendiri, atau memang masyarakat kita sudah semakin cerdas, yang nyleneh menjadi tren di media. Contohnya jelas-jelas seseorang itu tidak ada bukti melakukan kesalahan yang mengarah kepada yang bersangkutan kok dijeblosin penjara. Orang yang jelas kasat mata melakukan kesalahan sesuai bukti hukum, tidak diapa2kan, menunggu pengadilan akherat kali ya.
Atau sebuah nyawa manusia pada hari ini sudah tidak ada harganya sama sekali, belum terbukti bahwa dia melakukan kejahatan, langsung dibunuh, padahal baru terduga, apakah tidak sudah tidak ada airmatanya, melihat hal seperti ini terus terjadi? Bagaimana jika hal tersebut menimpa dirinya atau sanak familinya adakah rasa tangisnya akan membuncah?
Jadi teringat Mr. Kasman Singodimejo mantan jaksa, atau Hugeng mantan kapolri, atau ingat Baharudin Lopa mantan jaksa agung, semua yg diatas tak akan terjadi jika penegak hukum bertiga di atas masih hidup. Saya jadi berfikiran jelek, apakah terbunuhnya seorang yg "terduga" bla bla terkait dengan sebuah "proyek" satu orang mati terduga dapat hibah milyaran dollar misalnya, tapi apakah tidak ingat bahwa perbuatan di dunia akandi balas di akherat kelak? Atau memang sudah tak ada airmata untuk dikeluarkan karena melihat dollar milyaran? Maka menangis bukan karena bersedih menjadi relefan untuk selalu dibahas, bahwa sesungguhnya hidup ini cuman tinggal menunggu di absen balik ke pemiliknya, bahwa hidup ini sekedar mampir untuk minum, menaruh kembali gelasnya pada tempat yang benar, lalu silahkan antri tunggu giliran pemanghilan yang setiap manusia tidak tahu kapan dipanggilnya.
Oleh karenanya menangis bukan karena bersedih menjadi pemicu di dunia ini, sudah kah kita mempersiapkan bekal sebelum diabsen masuk ke kelas berikutnya? Jangan sampai rapot kita diterima dengan tangan kiri, tangankanan terikat erat tak berdaya, alangkah sedihnya kita jika kemudiansepanjang hidup ini tangan kanan tetikat tak berdaya unt menerima rapot kehidupan, artinya menangis bukan karena bersedih menjadi mutlak kita fahami bahwa di balik kehidupan dunia, masih ada kehidupan atau kelas lain yg harus kita ikuti, sanggupkah? Wallahu alam.
Rabu, 22 Mei 2013
ORA SENENG KENA NING AJA SENGIT
Ketiga anak kecil ini bisa dilihat mana yang sengit mana yang seneng , he he tapi ini bukan mengeksploitasi balita untuk konsumsi publik, hanya sekedar penggambaran bahwa konsep hidup ORA SENENG KENA NING AJA SENGIT ini bisa diibaratkan permainan yang dilakukan oleh anak-anak ketika pada suatu kesempatan, dua orang kompak untuk melarang temennya tidak boleh main bersama dengan berbagai macam alasan sesuai persepsi anak-anak dan berhasil, kemudian seberaba lama mereka untuk tidak saling tegur sapa? sampai berhari2 kah? tak sampai ukuran jam-jaman mereka sudah akrab kembali. Berbeda dengan orang-orang tua, jika sudah "ambeg ambegan" dengan tetangga sampai kapanpun tidak pernah ada rekonsiliasi, perbaikan bersama.
Maka kemudian sebuah percaturan dalam tatanan dunia, konsep bermasyarakat orang jawa yang termanifestasi dalam sebuah kalimat "Ora seneng kena ning aja Sengit" (Ini yang selalu di ular2kan Bapak saya di Cilacap) menjadi hal yang sangat indah untuk dipraktekan dalam tataran bernegara atau bermasyarakat, kalau boleh saya sampaikan bahwa ini sesungguhnya konsep kenegarawan yang akan bisa membentuk sebuah komunitas negara yang maju dan memiliki integritas moral.
Pun demikian adanya, bahwa interaksi bermasyarakat ini membutuhkan daya ingat yang sangat tinggi agar "Ora seneng kena ning aja Sengit" menjadi sebuah rel jika kemudian terjadi benturan-benturan sosial yang tak sengaja atau , benturan-benturan politik dalam mengelola negara dan pasti benturan ini akan berakibat "seneng" dan "sengit", tinggal bagaimana kita mengelola sebuah ke"senengan" jangan sampai menjadi bara untuk membakar ke"sengitan".
Boleh dong saya menilik ke belakang sebelum kita bahas lebih jauh tentang "Ilmu=OSKNAS"~~~~>Ora Seneng Kena Ning Aja Sengit, hal ini merupakan sebuah pesan Ayah pada anaknya disetiap kesempatan diulang-ulang agar kita sebagai anak faham benar konsep ilmu ini, karena dari hasil perjalanan panjang hidup bertahun-tahun pengembaraan sampai terdampar di Pantai Teluk Penyu he he, ada kekhasan dalam dialek jawa banyumasan kental dalam penyampaiannya ternyata ketika dicerna dalam-dalam bahwa OSKNAS menjadi sebuah "pedoman" yang sebetulnya berdasarkan ajaran agama Islam disinkoronisasikan dengan budaya jawa, terciptalah ilmu pilih tanding ini bersandi OSKNAS. Sungguhpun demikian bahwa ini rambu-rambu dan pagar-pagar ketika seorang manusia atau anak yang beranjak dewasa disampaikan terus menerus ketika batas teriorial bukan menjadi halangan, bisa per telp, sms-an terus diingatkan pada saya dengan bahasa beliau agar anaknya tetap berpegang pada konsep njawani tersebut yang sangat menarik adalah di akhir dari setiap pembicaraan pasti ujungnya adalah," Ya , kiye nyong mung wong tua, nek arep di enggo ya ngonoh nek ora dienggo ya ora papa" indah bukan? tanpa dipakasakan untuk suatu keharusan menerapkan dalam bermasyarakat, kami sekelurga pun berdoa agar tetap sehat wal afiat Amin ya Rabbal Alamin.
Maka berpedoman dari ular2 itulah kemudian bisa menenggelamkan nafsu duniawi yang selalu hinggap dan akan mengintai manusia dimanapun kita berada, masihkah ada akal sehat kita untuk berpihak pada sebuah konsep kecil kenegawawan ini? walau digagas oleh seorang Ayah bagi anak2nya di belahan Pantai Selatan, Teluk Penyu dekat Pulau Nusakambangan=Cilacap. Kalau bukan orang Cilacap siapa lagi yang akan membumikan konsep ini.
Sehingga kemudian bukankah menjadi indah jika semua perhelatan hidup ini dihadapi dengan OSKNAS? contohnya ketika terjadi permasalahan yang menimpa seseorang terkait masalah korupsi misalnya tentu saja kita akan mudah menyikapinya ORA SENENG terhadap perbuatannya tapi AJA SENGIT pada orang tersebut, karena dia masih sebagai manusia yang wajib kita bela tentang kemanusiannya saja, soal perbuatannya yang dilakukan itu wajib kita untuk ORA SENENG tapi apakah hakekat kemanusiaannya kita juga harus ORA SENENG? tentunya akan banyak orang-orang yang merana jika prinsip demikian dilakukan, atau ada unsur kesengajaan untuk mematikan karakter orang tersebut dengan dalih perbuatannya.
Tentu saja tidak demikian, sejatinya sebagai manusia prinsip-prinsip hidup ini melekat erat dalam tatanan penguasaan masing-masing individu oleh karenanya ular-ular dari Ayah saya tersebut sejatinya menyentuh pada tingkatan relung keindividuan agar menjadi pola hidup yang saling menghargai bahkan saling menyayangi, karena putaran hidup ini sungguh sangat cepat secepat kilat menyambar tatanan-tatanan filosofi kebudayaan Jawa yang akhirnya menjadi semakin luntur, dan hanya sebagai sejarah, atau paling banter diterbitkan buku saja.
Maka OSKNAS mungkin bisa menjadi penawar kita sekalian terhadap racun globalisasi yang sudah secara terang-terangan menyerang sampai pada relung-relung sendi kehidupan bangsa ini dan akankah konsep prinsip hidup yang mengkarakter pada setiap kita hanya tinggal kenangan? Akankah sebuah kesengitan itu akan berlanjut tanpa ada rekonsiliasi, tanpa ada saling memaafkan tanpa asa saling menyayangi sesama, sengitlah terhadap perbuatannya yang melanggar aturan tapi jangan sengit terhadap orangnya, maka belajarlah pada anak-anak kecil di atas, sebentar pun mereka guyup lagi tanpa ada rasa untuk saling menguasai.
Wallahu Alam bishawab.
Batam,
Maka kemudian sebuah percaturan dalam tatanan dunia, konsep bermasyarakat orang jawa yang termanifestasi dalam sebuah kalimat "Ora seneng kena ning aja Sengit" (Ini yang selalu di ular2kan Bapak saya di Cilacap) menjadi hal yang sangat indah untuk dipraktekan dalam tataran bernegara atau bermasyarakat, kalau boleh saya sampaikan bahwa ini sesungguhnya konsep kenegarawan yang akan bisa membentuk sebuah komunitas negara yang maju dan memiliki integritas moral.
Pun demikian adanya, bahwa interaksi bermasyarakat ini membutuhkan daya ingat yang sangat tinggi agar "Ora seneng kena ning aja Sengit" menjadi sebuah rel jika kemudian terjadi benturan-benturan sosial yang tak sengaja atau , benturan-benturan politik dalam mengelola negara dan pasti benturan ini akan berakibat "seneng" dan "sengit", tinggal bagaimana kita mengelola sebuah ke"senengan" jangan sampai menjadi bara untuk membakar ke"sengitan".
Boleh dong saya menilik ke belakang sebelum kita bahas lebih jauh tentang "Ilmu=OSKNAS"~~~~>Ora Seneng Kena Ning Aja Sengit, hal ini merupakan sebuah pesan Ayah pada anaknya disetiap kesempatan diulang-ulang agar kita sebagai anak faham benar konsep ilmu ini, karena dari hasil perjalanan panjang hidup bertahun-tahun pengembaraan sampai terdampar di Pantai Teluk Penyu he he, ada kekhasan dalam dialek jawa banyumasan kental dalam penyampaiannya ternyata ketika dicerna dalam-dalam bahwa OSKNAS menjadi sebuah "pedoman" yang sebetulnya berdasarkan ajaran agama Islam disinkoronisasikan dengan budaya jawa, terciptalah ilmu pilih tanding ini bersandi OSKNAS. Sungguhpun demikian bahwa ini rambu-rambu dan pagar-pagar ketika seorang manusia atau anak yang beranjak dewasa disampaikan terus menerus ketika batas teriorial bukan menjadi halangan, bisa per telp, sms-an terus diingatkan pada saya dengan bahasa beliau agar anaknya tetap berpegang pada konsep njawani tersebut yang sangat menarik adalah di akhir dari setiap pembicaraan pasti ujungnya adalah," Ya , kiye nyong mung wong tua, nek arep di enggo ya ngonoh nek ora dienggo ya ora papa" indah bukan? tanpa dipakasakan untuk suatu keharusan menerapkan dalam bermasyarakat, kami sekelurga pun berdoa agar tetap sehat wal afiat Amin ya Rabbal Alamin.
Maka berpedoman dari ular2 itulah kemudian bisa menenggelamkan nafsu duniawi yang selalu hinggap dan akan mengintai manusia dimanapun kita berada, masihkah ada akal sehat kita untuk berpihak pada sebuah konsep kecil kenegawawan ini? walau digagas oleh seorang Ayah bagi anak2nya di belahan Pantai Selatan, Teluk Penyu dekat Pulau Nusakambangan=Cilacap. Kalau bukan orang Cilacap siapa lagi yang akan membumikan konsep ini.
Sehingga kemudian bukankah menjadi indah jika semua perhelatan hidup ini dihadapi dengan OSKNAS? contohnya ketika terjadi permasalahan yang menimpa seseorang terkait masalah korupsi misalnya tentu saja kita akan mudah menyikapinya ORA SENENG terhadap perbuatannya tapi AJA SENGIT pada orang tersebut, karena dia masih sebagai manusia yang wajib kita bela tentang kemanusiannya saja, soal perbuatannya yang dilakukan itu wajib kita untuk ORA SENENG tapi apakah hakekat kemanusiaannya kita juga harus ORA SENENG? tentunya akan banyak orang-orang yang merana jika prinsip demikian dilakukan, atau ada unsur kesengajaan untuk mematikan karakter orang tersebut dengan dalih perbuatannya.
Tentu saja tidak demikian, sejatinya sebagai manusia prinsip-prinsip hidup ini melekat erat dalam tatanan penguasaan masing-masing individu oleh karenanya ular-ular dari Ayah saya tersebut sejatinya menyentuh pada tingkatan relung keindividuan agar menjadi pola hidup yang saling menghargai bahkan saling menyayangi, karena putaran hidup ini sungguh sangat cepat secepat kilat menyambar tatanan-tatanan filosofi kebudayaan Jawa yang akhirnya menjadi semakin luntur, dan hanya sebagai sejarah, atau paling banter diterbitkan buku saja.
Maka OSKNAS mungkin bisa menjadi penawar kita sekalian terhadap racun globalisasi yang sudah secara terang-terangan menyerang sampai pada relung-relung sendi kehidupan bangsa ini dan akankah konsep prinsip hidup yang mengkarakter pada setiap kita hanya tinggal kenangan? Akankah sebuah kesengitan itu akan berlanjut tanpa ada rekonsiliasi, tanpa ada saling memaafkan tanpa asa saling menyayangi sesama, sengitlah terhadap perbuatannya yang melanggar aturan tapi jangan sengit terhadap orangnya, maka belajarlah pada anak-anak kecil di atas, sebentar pun mereka guyup lagi tanpa ada rasa untuk saling menguasai.
Wallahu Alam bishawab.
Batam,
Langganan:
Postingan (Atom)