Senin, 22 Agustus 2016

SING ONO DIKERJAKNE, SING RA ONO RA SAH DIAREP-AREP

         Berbagi cerita kehidupan dalam hitungan waktu setiap manusia memiliki berbagai suka dan duka ketika perjalanan  panjang  menempuh kehidupan dunia. Sehingga ruang dan waktulah sesungguhnya menjadi saksi setiap detik, menit, senang, gembira, duka dan lara menjadi rantai saling taut mentaut begitu panjang mempersambungkan kehidupan itu sendiri.
        Sepertinya baru kemarin menimang-nimang buah hati sebagai bukti cinta kasih kami berdua, sepertinya baru kemarin kita bercanda, bersenda gurau bersama-sama, bercerita bersama-sama ternyata tahun berganti tahun, sudah cukup panjang perjalanan ini kita lalui , bagaimana tidak sekarang hari ini dan tahun ini perjalanan itu sudah mulai bergerak maju menuju kedewasaan masing-masing. Mereka sudah memiliki dunianya masing-masing, dunia yang sudah dikenalkan semasa dalam kandungan bundanya, tentu tidak berlebihan bahwa penggangan erat sudah di canangkan, pijakan pun sudah di kokohkan, kail pun

sudah dipersiapkan, ya memang kita akan kasih kail untuk memancing ikan, kata bundanya anak-anak kalian dikasih kail untuk memancingnya, tentu saja berapa besar ikan yang akan kalian dapatkan, tergantung bagaimana kelihaian kalian memancing dan mensiasati kail yang sedang dipersiapkan dan akan kalian pergunakan untuk mencapai kesuksesan dan keberkahan dunia.
        Maka "SING ONO DIKERJAKNE" yang ada pada hari ini kerjakan saja dengan profesional, laksanakan saja dengan tulus dan ikhlas, ikuti saja sesuai aturan mainnya, kejar dengan kemampuan yang ada, gapai dengan keahlian yang ada pada hari ini, sehingga hasil yang dicapai adalah merupakan proses perjuangan kalian untuk menggapai sebuah cita. 
          Tak sedikit keberhasilan seseorang untuk mencapai kesuksesan hanya menggunakan apa yang dimilikinya, apa yang dia kuasai, apa yang sesuai dengan kemampuannya, tidak perlu menjadi orang lain, jadilah diri sendiri, karena apapun yang dikerjakan pada hari ini, tidak akan sama hasilnya, walaupun cara dan metodenya sama, karena ruang dan waktulah yang membedakan walau metode dan cara yang sama. .
"SING RA ONO RA SAH DI AREP-AREP" maksudnya adalah bahwasanya keberadaan sesuatu itu menjadi ada atau tidak ada bukan wewenang kita untuk maksakan menjadi ada atau maksa untuk harus ada, itu adalah wewenang-Nya kapan dan dimana sesuatu yang kita harapkan akan muncul, atau barangkali bisa kita anggap bahwa yang kita perlukan pada hari ini adalah yang ada di hari ini, untuk hari esok tugas kita adalah berusaha di hari ini dan  tawakallallah, adalah kunci menggapai kesuksesan. 
         Menjadi sangat berbeda jika kemudian sesuatu yang kita inginkan harus ada dan harus terpenuhi, " sedek senyet " adalah menyalahi aturan Illahiah. Tentunya menyalahi akan hakeket kemanusiaan yang berketuhanan, manusia prinsipnya tentu tidak terlepas dari kehendakNya, jika keinginan setiap manusia akan segera terpenuhi, maka akan menjadi sombong manusia tersebut. Menjadi jumawa manusia tersebut seperti fir'aun, mengaku tuhan yang bisa menghidupkan dan mematikan, naudzubillahi mindzalik.
          
        Secerah harapan itu pasti ada, jika setiap kita mengikuti aturanNya, semburat cahaya berbinar akan segera datang menghampiri jika kita mengakui bahwa kita adalah manusia, jika kita mengikuti sunatullahNya, jika manusia faham benar akan siapa sesungguhnya pemilik alam ini.
         Oleh sebab itu, maka berusahalah dengan kemampuan yang ada, bekerjalah dengan kail yang ada, sementara tentang hasilnya kita sandarkan pada Allahu Rabbul Alamin.
            Jadilah diri sendiri, dan jangan ingin menjadi orang lain, busungkan dada kita, dan jangan busungkan dada orang lain, ciptakan hari-hari yang indah tuk menyongsong kail yang akan semakin kuat dan liat, dalam menggapai cita dan cinta karenaNYa. 

Wallahu Alam.

Kamis, 18 Agustus 2016

SEKALI LAGI TENTANG KORUPSI



A.    Pendahuluan
Korupsi merupakan salah satu kata yang sangat populer di masyarakat dan telah menjadi tema pembicaraan sehari-hari. Namun demikian, ternyata masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apa itu korupsi.
Pada umumnya masyarakat memahami korupsi sebagai sesuatu yang merugikan keuangan negara semata. Padahal dalam undang-undang Nomor 31 tahun 1999  juncto undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, ada 30 jenis tindak pidana korupsi. Ke-30 jenis tidak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu: i) kerugian keuangan negara; ii) suap menyuap; iii) penggelapan dalam jabatan; iv) pemerasan; v) perbuatan curang; vi) benturan kepentingan dalam pengadaan dan vii) gratifikasi.
Korupsi memiliki sejarah yang amat panjang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Di India, korupsi sudah menjadi permasalahan serius sejak 2300 tahun yang lalu. Hal ini terbukti dengan adanya tulisan Perdana Menteri Chandra Gupta tentang 40 cara untuk mencari kekayaan negara. Kerajaan China, pada ribuan tahun lalu telah menetapkan kebijakan yang disebut Yang-Lian, yaitu hadiah untuk pejabat negara yang bersih, sebagai inisiatif untuk menekan korupsi.
Tujuh abad silam, Pante menyatakan bahwa para koruptor akan tinggal di kerak neraka dan Shakes Peare mengangkat tema-tema korupsi dalam berbagai karyanya. Plato dalam bukunya The Laws menyatakan bahwa “The servants of the nations are to render their services without any taking of presents. To form your judgement and then abide by it is no easy task and its”.
Di Indonesia korupsi terjadi sejak zaman kerajaan. Bahkan VOC, bangkrut pada awal abad ke-20 akibat korupsi yang merajalela di tubuh organisasinya. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, banyak petinggi Belanda kembali ke tanah airnya. Posisi kosong mereka kemudian diisi oleh kaum pribumi pegawai pemerintah Hindia Belanda (ambtenar) yang tumbuh dan berkembang di lingkungan korup semasa kolonial.
Begitu juga di era kerajaan sebelum merdeka, kita dapat menyimak bagaimana tradisi korupsi terjadi ketika perebutan kekuasaan di kerajaan Singosari sampai tujuh turunana saling membalas dendam berebut kekuasaan Anusapati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya.
Sesungguhnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar Sriwijaya, Majapahit dan Mataram adalah perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala Putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (Perang Paregreg) sepeninggal Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Gianti, VOC memecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Perilaku korup bukan hanya masyarakat Indonesia saja, orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar”-“mengkorup “harta-harta institusi atau pemerintahnya. penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Cantigenten. di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke Negara Belanda.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris) yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816, terbit pada tahun 1816 mendapat sambutan yang luar biasa baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat, buku tersebut menjelaskan cukup gamlang tentang kebudayaan Jawa adat istiadat, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna dll, termasuk juga budaya upeti yang merupakan cikal bakal berkembangnya korupsi di Indonesia ditiru oleh Belanda ketika menjajah yang pada akhirnya menimbulkan perlawanan rakyat seperti Perang Diponegoro (1825-1830), Imam Bonjol (1821-1837), Aceh (1873-1904). Namun yang sangat menyedihkan adalah penindasan atas penduduk pribumi yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia sendiri yang pada akhirnya upeti ditarik lebih besar untuk kemudian disetor lebih kecil, disini mulai timbul korupsi secara sistematik, sehingga akan terus berlanjut walau jaman kolonial penjajahan sudah berakhir.

B.     Memahami Korupsi
Korupsi pada dasarnya tidak mudah dirumuskan karena adanya pemahaman yang berlainan pada tiga tingkatan:
1)      Korupsi yang didefinisikan oleh otoritas penegak hukum.
2)      Korupsi yang berdampak pada kehidupan masyarakat.
3)      Korupsi yang dipersepsi dan diinterpretasikan oleh masyarakat umum yang kemudian berkembang menjadi opini publik.
Pemahaman mengenai korupsi pada tiga tingkatan ini bisa saja saling berbeda sehingga melahirkan kontraversi, seperti terlihat dalam banyak kasus korupsi yang diberitakan oleh media massa. Kontraversi mengenai korupsi muncul diberitakan oleh media massa karena dua hal:
1)      Kepentingan politik tertentu (propaganda untuk menyerang, defamasi, dan merusak kredibilitas lawan politik).
2)      Terdapat pemahaman, persepsi dan interprestasi yang berlainan mengingat definisi korupsi dirujuk tidak sama.
Namun, definisi korupsi yang lazim dipakai banyak pihak merujuk pada rumusan yang dibuat Transparancy International yakni “The abuse of entrusted power for personal gain” dan rumusan serupa dari World Bank yaitu “The misuse of public power for private benefit”. Definisi singkat ini merujuk pada pengertian klasik (akhir 1960-an) tentang korupsi yang dirumuskan secara agak panjang oleh ahli ilmu politik Joseph S.Nye:
“Corruption is behaviour which deviates from the normal duties of a public role because of private-regarding (family, close private clique) pecuniary or status gain; or violates rules against the exercise of certain types of private-regarding influence. This includes such behavior as bribary cuse of reward to pervert the judgement of a person in a position of trust); nepotism (bestowal of patronage by reason of ascriptive relationship rather than merit) and misappropriation (illegal appropriation of public resources for private regarding use).
Dalam Wordnet Pricenton Education, korupsi didefinisikan sebagai “Lack of integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position of trust for dishonest again) selanjutnya dalam kamus Collins Co build arti dari kata Corrupt adalah “some one who is corrupt behaves in a way that is morally wrong, especially by doing dishonesty or iilegal things in return for money or power.
Praktek korupsi pasti terkait dengan pihak-pihak lain di luar struktur pemerintahan. Korupsi setidaknya melibatkan kerjasama antara dua pihak: pejabat yang memangku keluasaan di lembaga publik dan pebisnis yang berada di sektor swasta. Bentuk korupsi bisa beraneka rupa, seperti (i) pengambilan dana publik yang menjadi sumber pendapatan negara, (ii) penggelapan pajak, (iii)  penyunatan alokasi anggaran pembangunan, (iv) permintaan komisi untuk proyek-proyek yang didanai pemerintah, (v) penyuapan untuk memuluskan proses legislasi, pembuatan kebijakan publik, persetujuan anggaran belanja negara dan banyak lagi yang lain.
Klit Gaard membuat persamaan sederhana tetapi sangat populer untuk menjelaskan pengertian korupsi, yaitu sebagai berikut:

C = M + D - A
Dimana:
C : Corruption
M : Monopoly
D  : Discretion
A : Accountability


Persamaan diatas menjelaskan bahwa korupsi hanya bisa terjadi apabila seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu serta ditunjang oleh diskresi atau keleluasaan dalam menggunakan keluasaannya, sehingga cenderung menyalahgunakannya, namun lemah dalam hal pertanggungjawaban kepada publik (Akuntabilitas)
Dilihat dari perspektif hukum, korupsi merupakan tindakan kejahatan yakni sesuatu perbuatan melanggar hukum dan undang-undang. Dalam banyak kasus, korupsi adalah produk dari organized crime activities yang melibatkan tokoh-tokoh komisi dalam badan negara dan pejabat pemerintahan yang punya akses pada sumber daya ekonomi politik, sehingga korupsi menjelma menjadi State Crime atau State Capture.
Penegakan hukum untuk pelaku korupsi harus dijalankan dengan tegas tanpa kompromi, untuk mencegah  merajalelanya praktek korupsi seperti ungkapan berikut: “in order to reduce corruption criminal law must be improsed, and pinalties conseguently need to be set to a chieve effective deterrence.
Dengan demikian upaya pencegahan korupsi lebih banyak mampu pada sistem hukum sebagai mekanisme penangkal kejahatan korupsi. Namun dalam kenyataannya praktek korupsi sudah mencengkram hampir seluruh lembaga negara dan birokrasi pemerintah, sehingga penegakan hukum seolah tidak efektif sama sekali. Hukum tidak sepenuhnya dapat dijadikan instrumen untuk mencegah korupsi. Karena itu, korupsi tak bisa dipahami hanya dari sudut pandang hukum semata atau didekati hanya melalui perspektif legal belaka, mengingat korupsi itu bersifat Shadowy Subject yang acap kali dipahami secara berlainan bergantung pada latar belakang budaya suatu  masyarakat.

C.    Strategi Pemberantasan Korupsi
Pada masa ORLA (orde lama) kultur seperti upeti  masih terus berlanjut dengan sistem dan metode berbeda tetapi tetap membuat negara menjadi sapi perah oleh bangsa sendiri, begitu juga setelah ORBA berkuasa korupsilah yang membuat tumbangnya ORBA digantikan dengan jaman reformasi, apakah pada jaman reformasi korupsi berkurang? Berdasarkan Corruption Perseption Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis Transparancy International menunjukkan negeri ini masih belum lepas dari budaya korupsi yang sudah mendarah daging, dilihat dari hasil survey tersebut Indonesia diposisi yang masih rendah kendati ada kecenderungan peningkatan angka. Pada tahun 2011 IPK Indonesia ada pada peringkat ke-101 dari 183 negara dengan skor 3,0 (naik sekitar 0,2 dibanding IPK tahun 2010 atau 1,0 sejak tahun 2004).
Sedang untuk Indeks Global Corruption Barometer (GCB) tahun 2010. Menurut GCB 2010, sebagian responden menyatakan pernah melakukan pembayaran suap. angkanya mencapai 18%, semakin tinggi indeks di suatu instansi, maka instansi tersebut kian dipersepsikan terkorup. Indeks GCB memberikan skor tertinggi dengan nilai indeks 3,6 lembaga legislatif, disusul lembaga kepolisian dan partai politik dengan indeks 3,5. Yudikatif mendapat indeks 3,3 di susul pejabat eksekutif dengan indeks 3,2.
Bagaimana dengan hasil survey tahun berikutnya? Berdasarkan survey TI hingga akhir 2014, Indonesia masih mengalami korupsi yang relatif tinggi. Dalam Corruption Perception Index 2014,  negara kita menempati posisi 117 dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100  (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih), dalam data tersebut juga diungkapkan bahwa korupsi menempati urutan teratas dari 18 (delapan belas) faktor penghambat kemudahan berusaha di Indonesia.
Peraturan perundang-undangan yang masih membuka kemungkinan tumpang tindihnya perizinan serta kepastian hukum kadang menjadi masalah lain yang umum terkait usaha di Indonesia. Di dunia bisnis internasional, dikenal peringkat Ease of Doing Business (EoDB) atau peringkat kemudahan berusaha di negara-negara tertentu yang dikeluarkan oleh World Bank. Salah satu indikatornya adalah nilai Starting Business yang menyangkut penilaian memulai usaha. Pada saat ini, Indonesia berada pada peringkat ke-129 dalam peringkat EoDB, sementara berada pada peringkat ke-155 untuk Starting Business dari 183 negara.
Pada tahun 2015, Transparansi Internasional melakukan survey persepsi korupsi 2015
dari skor tersebut tergambar bahwa terjadi stagnasi berkaitan dengan sektor politik dan perizinan sehingga strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi seperti tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi jangka panjang 2012-2025 dan jangka menengah tahun 2012-2014, yang merupakan salah satu Instrument sebagai panduan dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia belum sempurn dalam pelaksanaannya.
         Maka untuk memetakan resiko korupsi dan menilai efektifitas program anti korupsi dalam rangka pencapaian target-target stranas Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, Transparansi Internasional Indonesiaa (TII) didukung oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan survey Persepsi Korupsi tahun 2015 yang dilakukan di 11 (sebelas) kota di Indonesia yaitu: Pekanbaru, Semarang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Manado, Medan, Padang, Bandung, Surabaya, dan Jakarta. Survey tersebut dilakukan serempak pada 20 Mei – 17 Juni 2015 kepada1.100 pengusaha. Pengambilan sampel menggunakan stratifield random sampling yang bersumber dari Direktori Perusahaan Industri 2014 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik. Pengambilan data dilakukan oleh enumerator melalui metode wawancara tatap muka dengan pengusaha dengan panduan kuesioner survei. Kemudian enumerator melakukan proses pemasukan data dalam portal online.
           Dari survey tersebut diperoleh hasil kota yang memiliki skor tertinggi dalam Indeks Persepsi Korupsi 2015 adalah Kota Banjarmasin dengan skor 68, Kota Surabaya dengan skor 65, dan Kota Semarang dengan skor 60.

Tabel Indeks Persepsi Korupsi 2015
No
Kota
Skor
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Banjarmasin
Surabaya
Semarang
Pontianak
Medan
Jakarta Utara
Manado
Padang
Makassar
Pekanbaru
Bandung
68
65
60
58
57
57
55
50
48
42
39
                                                  Sumber : TII

Efektifitas pemberantasan koripsi dan akuntabilitas pendanaan publik dinilai responden memiliki kontribusi paling besar terhadap penurunan potensi korupsi, tidak kalah penting penurunan potensi korupsi juga disumbangkan oleh perbaikan persepsi terhadap sektor terdampak korupsi, penurunan prevelensi korupsi dan penurunan motivasi korupsi seperti dalam tabel dibawah ini:

Tabel Potensi Korupsi
Kategori dan Unsur
2014
2015
2016
PREVELENSI KORUPSI
48
53
58
Suap dan Korupsi
46
51
57
Pejabat Publik meminta atau menerima suap
48
53
58
Penyalahgunaan keuangan publik untuk kepentingan pribadi
49
54
59
Korupsi oleh pimpinan politik nasional
46
51
57
Korupsi oleh pimpinan politik lokal
48
53
58
Korupsi oleh pegawai publik di tingkat nasional
48
53
58
Korupsi oleh pegawai publik di tingkat lokal
48
54
59
AKUNTABILITAS KEUANGAN PUBLIK
52
56
61
Ketiadaan prosedur jelas dan akuntabel alokasi keuangan publik
52
56
61
Banyak dana khusus yang tidak dipertanggujawabkan
50
54
60
Banyak pejabat publik yang ditunjuk pemerintah
50
54
60
Ketiadaan lembaga independen yang mengaudit keuangan publik
54
58
63
Ketiadaan Pengadilan Independen yang mengadili pejabat korup
53
57
62
MOTIVASI KORUPSI
47
52
58
Korupsi untuk memperoleh dukungan politik berlebih
46
51
57
Korupsi akibat adanya perlakuan istimewa
47
52
58
Korupsi akibat adanya pengamanan proyek pemerintah
46
51
57
Korupsi akibat jual beli pengaruh
49
54
58
Korupsi untuk pendanaan tak tercatat untuk partai politik
49
53
58
SEKTOR TERDAMPAK KORUPSI



Korupsi di perizinan
46
52
59
Korupsi di pelayanan dasar
52
57
63
Korupsi di perpajakan
51
57
64
Korupsi di pengadaan
50
54
61
Korupsi di peradilan
47
52
59
Korupsi di penerbitan kuota perdagangan
53
57
63
Korupsi di kepolisian
44
48
56
Korupsi di perkreditan
57
62
66
Korupsi di bea cukai
51
55
61
Korupsi di instansi pengawas dan pemeriksaan
53
58
63
Korupsi di militer
60
63
67
Korupsi di eksekutif
47
52
58
Korupsi di legislatif
44
49
56
PEMBERANTASAN DAN PENCEGAHAN KORUPSI
52
56
64
Penegakan hukum terhadap pejabat publik korup
51
55
63
Pencegahan korupsi oleh pemerintah
52
57
64

D.    Best Practices Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara
Berikut pemberantasan korupsi di berbagai negara yang di kompilasi dari buku Dr. Ermansyah Djaja S.H., M.Si., Prof. Dr. H. Elwi Danil dan John R. Heilbrunn serta Laporan Kajian oleh Pusat Kajian Administrasi Internasional – Lembaga Administrasi Negara.
1.      Independent Commision Against Corruption (ICAC) Hongkong
Hongkong tidak dapat dilepas dari masalah candu atau opium, yang sekarang dikenal dengan narkotika, dari pemasok utama yaitu segitiga emas (Thailand, Laos, Burma), sehingga pada tahun 1796 dan 1800 Kaisar Cina melarang impor opium dan diperintahkan oleh Kaisar untuk menyita semua barang haram tersebut dan para orang asing, hal ini menimbulkan ketegangan dan berakibat perang candu 1839-1842, antara Cina dengan Inggris waktu itu.
Permasalahan korupsi yang sangat meluas terjadi pada tahun 60-an dan 70-an tidak terlepas dari masalah narkotika karena Hongkong tetap jadi tempat transit barang tersebut yaitu berkoalisi dengan pihak kepolisian Hongkong, setiap harinya kepolisian Hongkong menerima 10.000 dollar Hongkong dari para sindikat.
Maka dibentuklah ICAC Independent Commision Against Corruption sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di Hongkong, pada awal pembentukannya 1974-1980-an banyak ditentang oleh masyarakat karena pada waktu itu Hongkong terjangkit korupsi akut, hampir semua kalangan birokrat.
2.      Corrupt Practice Investigation Bureau (CPIB) Singapura
Korupsi adalah praktek yang umum di Singapura sepanjang sejarah keterjajahannya. Namun ketika seorang inspektur polisi mencuri 1.800 ton narkotika tahun 1950-an, Crown Administrator Singapura mengesahkan Prevention of Corruption Ordinance dan menciptakan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). Undang-undang ini dimaksudkan untuk mengirimkan sinyal pada para investor bahwa pemerintah Singapura tidak menolerir korupsi.

3.      Independent Commision Against Corruption (ICAC) New South Wales – Australia
Australia pada awal sejarahnya selama 200 tahun pemerintahan didominasi oleh militer. Australia menjadi tempat pembuangan penjahat kalap, dengan pemerintahan yang berjalan dengan sangat korup. Namun 200 tahun kemudian, Australia menjadi salah satu negara yang paling rendah korup di dunia. Kenyataan ini diperkuat dengan di bentuknya komisi anti korupsi yang independen dan komisi ini menunjukkan hasil kerja yang sangat sukses.
Lembaga independen yang bertugas memberantas korupsi di Australia khususnya negara bagian New South Wales adalah Independent Commision Against Corruption (ICAC). Negara bagian New South Wales dengan ibukota Sydney inilah yang mempunyai komisi anti korupsi lengkap, independen dan berjalan dengan lancar.

4.      The United States Office of Goverment Ethics, Amerika Serikat
  Korupsi dalam sejarah Amerika Serikat telah mendorong reformasi dan undang-undang melawan suap dan tindakan korupsi, reformasi dalam undang-undang anti korupsi di Amerika Serikat terjadi setelah beberapa kasus misalnya Credit Mobilier Scandal  pada tahun 1870-an. Adapun skandal panjang yang berlangsung selama satu dekade yaitu  Tammany Hall  di Kota New York pada abad ke-19, Teapot Dome, serta skandal Locheed dan Abscam, masing-masing skandal ini menyebabkan terjadinya reformasi yang mengubah hukum tentang korupsi di Amerika Serikat.
 Skandal Tammany Hall mendorong disahkannya Pedleton Act tahun 1808, yang meyakini praktek patronase dan mengatur perilaku pejabat publik. Teapot Done menjadi pencetus reformasi gerakan progresif dan kelalaian kongres atas eksekutif. Skandal penyuapan  Lockeed menjadi penyebab lahirnya foreign corrupt practices art (FCPA) pada tahun 1977, berdasarkandengar pendapat dan pengakuan yang diperoleh dari skandal Lockeed dan  Abscam mendorong terbentuknya  Office of goverment Ethics (OGE) sebagai bagian pendekatan multi agency untuk melawan korupsi birokrasi.

5.      Badan Pencegah Rasuah ( BPR ) Malaysia
 Sejak 1961 Malaysia telah memiliki undang-undang anti korupsi yang pertama tahun 1961 bernama Prevention of Corruption act atau Akta Pencegahan Rasuah Nomor 57, kemudian diterbitkan lagi Emergency Essential Powers Ordiance Nomor 22  tahun 1970 lalu dibentuk Badan Pencegah Rasuah (BPR) berdasarkan Anti Corruption Agency Act tahun 1982, sekarang berlaku Anti Corruption Agency Act tahun 1997 yang disingkat ACA sebagai penggabungan ketiga Undang-Undang dan ordonansi tersebut.

E.     Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
 Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

a.       Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

b.      Era Reformasi
a.   Ketetapan Majelelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
b.    Masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN),  Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Lembaga Ombudsman.
c.    Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
d.      Masa Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui judicial review Mahkamah Agung , TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap.



F.     KPK Lahir sebagai Trigger Mechanism
       Prof. Romli Atmasasmita, dalam makalahnya berjudul Pembuktian terbalik dalam Kasus Korupsi, 14 Oktober  2006  menyatakan bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisir dan bersifat lintas batas teritorial transnasional, di samping pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan migran dan penyelundupan senjata api. Demikian bunyi ketentuan dalam Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi. Konvensi tahun 2000 ini sudah ditandatangani namun belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, sedangkan Konvensi Anti Korupsi tahun 2003 telah diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2006.
        Selanjutnya Prof. Romli Atmasasmita menyatakan bahwa ditempatkannya korupsi sebagai salah satu kejahatan terorganisasi dan bersifat transnasional didasari beberapa alasan. 
        Pertama, Modus operandi korupsi telah menyatu dengan sistem birokrasi hampir di semua negara , termasuk dan tidak terbatas pada negara-negara Asia dan Afrika, dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian terbesar pejabat tinggi. Bahkan seorang Presiden seperti di Filipina dan Nigeria dan beberapa negara Afrika lainnya. Kasus terbaru menyangkut mantan Perdana Menteri Thaksin di Thailand.
Kedua, korupsi terbukti telah melemahkan sistem pemerintahan dari dalam dan merupakan virus berbahaya dan penyebab proses pembusukan dalam kinerja pemerintahan serta melemahkan demokrasi.
Ketiga : pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi didalam sistem birokrasi yang juga kouptif sehingga memerlukan instrument hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya.
Keempat, korupsi tidak lagi merupakan masalah dalam negeri atau masalah nasional suatu negara, melainkan sudah merupakan masalah antarnegara atau hubungan antara dua negara atau lebih, sehingga memerlukan kerjasama aktif antara negara-negara yang berkepentingan atau dirugikan karena korupsi. Hal ini disebabkan sangat banyak bukti bahwa aset hasil korupsi ditempatkan di negara yang dianggap aman oleh pelakunya seperti Kepulauan Cayman, Swiss, Austria dan beberapa negara di Asia dan Afrika.
Untuk menjawab tantangan yang berat ini, KPK dilahirkan sebagai trigger mechanism adalah fungsi yang diamanatkan kepada KPK untuk menjadi pemicu terhadap upaya pemberantasan korupsi yang sebelumnya mati suri. Dengan dipicu oleh KPK, maka diharapkan lembaga penegak hukum, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan, bergerak cepat mengusut kasus-kasus dugaan korupsi.
Pendirian KPK tidak lain karena institusi penegak hukum yang lain, Kepolisian RI dan Kejaksaan RI tidak mendapatkan kepercayaan dan legitimasi yang kuat dalam menangani kasus korupsi. Kedua institusi ini juga masih dihadapkan pada problem internal, mewujuekan kelembagaan yang bersih. Sebagai jalan keluar, dibentuklah KPK ini, yang memiliki mandat yang besar. Sebagaimana Prf. Dr. Romli Atmasasmita pernah berujar, tidak ada satupun penegak hukum di dunia, yang memiliki kewenangan sebesar KPK : sebagai penyelidik, penyidik maupun penuntut umum sekaligus.
Pendirian KPK merupakan a temporary way-out, jalan keluar sementara. Sejatinya, KPK bukan menjadi bagian dari sistem peradilan pidana ( criminal justice system ) di Indonesia. KPK tidak didesain untuk menggantikan peran kepolisian dan kejaksaan sebagai penegak hukum. Sehingga keberadaan bersifat temporal. Karenanya, keberadaan KPK juga harus memperkuat keberadaan institusi lain, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam konteks inilah, terdapat tunggakan pekerjaan terhadap fungsi KPK yang lain,yaitu melakukan koordinasi dan supervisi terhadap penegak hukum yang lain  sebagai  yang belum kunjung dikerjakan dengan baik oleh KPK periode yang lalu dan yang sekarang. Tunggakan pekerjaan lain , adalah meredifinikan fungsi KPK dalam mencegah terjadinya korupsi.
Bentuk mandat KPK yang besar bukan hanya terimplementasikan dalam fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sekaligus, namun juga funsi koordinasi dan supervisi dalam konteks pemberantasan korupsi terhadap penegak hukum yang lain, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Realisasi fungsi ini tidak secara mudah dicerna dan dipahami – untuk tidak dibilang tidak ada – oleh publik dan bahkan oleh DPR ( yang menjadi satu-satunya lembaga pengawas eksternal lembaga ini).
Pada saat ini, yang dicerna dan dipahami oleh publik, adalah hubungan yang kurang harmonis antara KPK dengan kepolisian dan kejaksaan. Hal ini terefleksi dalam Masaro yang menyeret Pimpinan KPK Bibit-Chandra sebagai tersangka. Bibit dan Chandra ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian karena disangka menerima suap melakukan pemerasan terhadap Direktur PT. Masaro. Langkah Kepolisian ini diartikan sebagian LSM sebagai bentuk kriminalisasi terhadap KPK, sehingga menambah daftar permusuhan publik kepada kepolisian dan kejaksaan. Contoh lain adalah kesungkakan KPKN untuk mengambil alih kasus Gayus, walaupun ini menjadi kewenangannya.
Untuk itu, sebagaimana uraian sebelumnya, pekerjaan rumah (PR) bagi KPK saat ini adalah mengoptimalisasi fungsi koordinasi dan supervisi dengan lembaga penegak hukum lain. Selama ini KPK terkesan arogan sebagai single fihter, menempatkan dirinya sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi. Padahal sekali lagi lembaga ini di design sebagai lembaga sementara. KPK bagaimanapun harus memahami psikologi kedua lembaga hukum lain yang sudah malang melintang puluhan tahun lamanya.
KPK juga mesti menyadari keterbatasan yang dimiliki oleh lembaga lain, seperti dana penanganan kasus yang jauh lebih kecil dari KPK. Jawaban dari masalah ini tidak cukup dengan dibuatnya MoU bersama antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam fungsi koordinasi, namun lebih dari itu mengatasi psychological barrier , hambatan psikologi KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Mudah terbaca, walaupun menjadi kewengannya, keengganan atau kesungkanan KPK mengambil alih kasus Gayus, dikarenakan faktor ini.
Pekerjaan rumah KPK yang lain adalah meredifinisikan kembali fungsi pencegahan KPK. Banyaknya koruptor yang masuk bui, ternyata tida serta merta menjadikan yang lain jera. Sehingga, penghukuman tidak menimbulkan efek jera. Untuk itu, upaya pencegahan menjadi sesuatu yang penting. Saat ini, KPK terkesan hanya melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang korupsi dan mewajibkan calon pejabat negara atau daerah menyerahkan LHKPN ( Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara) tanpa melakukan verifikasi atas kebenaran data yang disampaikan. Memang betul, butuh dana, sumber daya manusia dan waktu yang tidak sedikit untuk melakukan hal ini. Untuk itu, KPK harus memformulasikan kembali fungsi pencegahan lembaga ini, termasuk juga pengawasan terhadap lembaga pemerintahan, legeslatif dan yudikatif.

G.    Harapan di Masa Datang untuk Indonesia Lebih Baik/Kesimpulan
 Tujuan akhir dari pemberantasan korupsi adalah membuat korupsi dari “beresiko kecil dengan ketuntungan besar” menjadi “beresiko tinggi dengan keuntungan kecil”; sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat dijalankan lebih efektif dan adil.
Konsep dasar strategi pemberantasan korupsi dimulai dari cara pandang bahwa korupsi adalah permasalahan sistemik dalam suatu negara, yang merupakan bentuk kegagalan dari penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai sebuah permasalahan sistemik, maka solusi atas permasalahan ini mesti secara integral dan menyeluruh. Di sinilah kemudian dikenal apa yang disebut sebagai Sistem Integritas Nasional.
Sistem Integritas Nasional terdiri dari institusi dalam semua sektor ( publik, swasta dan sektor ketiga) suatu negara. Peran dan fungsinya dilaksanakan dengan standar tinggi dalam efektifitas, transparansi dan akuntabilitas, sehingga satu dengan yang lainnya saling mendukung untuk menjaga standar  tinggi tersebut dan tingkat korupsi yang rendah, Sistem Integritas Nasional mencerminkan konsep akuntabilitas horizontal, dimana satu sektor menjadi watchdog bagi instansi lainnya.
Sebagaimana ditulis oleh Jeremy Pope, dalam bukunya berjudul Strategi Memberantas Korupsi; Elemen Sistem Integritas Nasional ( Penerbit Transparancy International Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, 2003)  yang menjadi buku panduan Transparency International.
Korupsi perlu diberantas untuk mencapai tujuan yang lebih luas, yakni tata kelola pemerintahan yang lebih efektif, adil dan efesien. Aktivitas anti-korupsi tidak hanya menaruh perhatian perhatian pada korupsi itu sendiri tetapi juga dampaknya pada masyarakat. Karena itu, pentingnya untuk memperkirakan kerugian yang ditimbulkan  korupsi dan untuk memehami bahwa tidak mungkin menghilangkan korupsi sampai akar-akarnya dalam sekali pukul.
Memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya jika memang bisa dilakukan, akan menelan banyak biaya atau akan terlalu luas dan berat. Paling banyak yang dapat diharapkan adalah membatasi praktik korupsi sampai ke tingkat yang dapat diterima.
Tujuan yang hendak dicapai bukanlah mewujudkan kejujuran mutlak atau obat mujarab sekali pakai lantas sembuh, tetapi meningkatkan integritas dalam tata pemerintahan secara keseluruhan. Untuk memusatkan perhatian pada mengapa dan di mana korupsi merajalela, dan untuk menciptakan sistem dan prosedur yang dirancang khusus untuk mencegah dan menghambat perkembangan korupsi. Proses ini sendiri harus memiliki integritas dalam dirinya. Nilai-nilai lain harus dihormatinya, dan kepentingan yang beraneka ragam harus diselaraskan.
Sistem Integritas adalah kerangka checks and balance  (saling mengimbangi) untuk menghindari kerusakan yang ditimbulkan korupsi pada kepentingan publik, dan untuk menciptakan lingkungan yang dapat meningkatkan kualitas keputusan yang diambil oleh pejabat publik. Sebagai sebuah sistem pilar-pilar kelembagaan Sistem Integritas Nasional itu meliputi DPR, MPR dan DPD serta Lembaga Eksekutif di pemerintahan Indonesia.