Senin, 29 Agustus 2016
Kamis, 25 Agustus 2016
Senin, 22 Agustus 2016
SING ONO DIKERJAKNE, SING RA ONO RA SAH DIAREP-AREP
Berbagi cerita kehidupan dalam hitungan waktu setiap manusia memiliki berbagai suka dan duka ketika perjalanan panjang menempuh kehidupan dunia. Sehingga ruang dan waktulah sesungguhnya menjadi saksi setiap detik, menit, senang, gembira, duka dan lara menjadi rantai saling taut mentaut begitu panjang mempersambungkan kehidupan itu sendiri.
Sepertinya baru kemarin menimang-nimang buah hati sebagai bukti cinta kasih kami berdua, sepertinya baru kemarin kita bercanda, bersenda gurau bersama-sama, bercerita bersama-sama ternyata tahun berganti tahun, sudah cukup panjang perjalanan ini kita lalui , bagaimana tidak sekarang hari ini dan tahun ini perjalanan itu sudah mulai bergerak maju menuju kedewasaan masing-masing. Mereka sudah memiliki dunianya masing-masing, dunia yang sudah dikenalkan semasa dalam kandungan bundanya, tentu tidak berlebihan bahwa penggangan erat sudah di canangkan, pijakan pun sudah di kokohkan, kail pun
sudah dipersiapkan, ya memang kita akan kasih kail untuk memancing ikan, kata bundanya anak-anak kalian dikasih kail untuk memancingnya, tentu saja berapa besar ikan yang akan kalian dapatkan, tergantung bagaimana kelihaian kalian memancing dan mensiasati kail yang sedang dipersiapkan dan akan kalian pergunakan untuk mencapai kesuksesan dan keberkahan dunia.
Maka "SING ONO DIKERJAKNE" yang ada pada hari ini kerjakan saja dengan profesional, laksanakan saja dengan tulus dan ikhlas, ikuti saja sesuai aturan mainnya, kejar dengan kemampuan yang ada, gapai dengan keahlian yang ada pada hari ini, sehingga hasil yang dicapai adalah merupakan proses perjuangan kalian untuk menggapai sebuah cita.
Tak sedikit keberhasilan seseorang untuk mencapai kesuksesan hanya menggunakan apa yang dimilikinya, apa yang dia kuasai, apa yang sesuai dengan kemampuannya, tidak perlu menjadi orang lain, jadilah diri sendiri, karena apapun yang dikerjakan pada hari ini, tidak akan sama hasilnya, walaupun cara dan metodenya sama, karena ruang dan waktulah yang membedakan walau metode dan cara yang sama. .
"SING RA ONO RA SAH DI AREP-AREP" maksudnya adalah bahwasanya keberadaan sesuatu itu menjadi ada atau tidak ada bukan wewenang kita untuk maksakan menjadi ada atau maksa untuk harus ada, itu adalah wewenang-Nya kapan dan dimana sesuatu yang kita harapkan akan muncul, atau barangkali bisa kita anggap bahwa yang kita perlukan pada hari ini adalah yang ada di hari ini, untuk hari esok tugas kita adalah berusaha di hari ini dan tawakallallah, adalah kunci menggapai kesuksesan.
Menjadi sangat berbeda jika kemudian sesuatu yang kita inginkan harus ada dan harus terpenuhi, " sedek senyet " adalah menyalahi aturan Illahiah. Tentunya menyalahi akan hakeket kemanusiaan yang berketuhanan, manusia prinsipnya tentu tidak terlepas dari kehendakNya, jika keinginan setiap manusia akan segera terpenuhi, maka akan menjadi sombong manusia tersebut. Menjadi jumawa manusia tersebut seperti fir'aun, mengaku tuhan yang bisa menghidupkan dan mematikan, naudzubillahi mindzalik.
Secerah harapan itu pasti ada, jika setiap kita mengikuti aturanNya, semburat cahaya berbinar akan segera datang menghampiri jika kita mengakui bahwa kita adalah manusia, jika kita mengikuti sunatullahNya, jika manusia faham benar akan siapa sesungguhnya pemilik alam ini.
Oleh sebab itu, maka berusahalah dengan kemampuan yang ada, bekerjalah dengan kail yang ada, sementara tentang hasilnya kita sandarkan pada Allahu Rabbul Alamin.
Jadilah diri sendiri, dan jangan ingin menjadi orang lain, busungkan dada kita, dan jangan busungkan dada orang lain, ciptakan hari-hari yang indah tuk menyongsong kail yang akan semakin kuat dan liat, dalam menggapai cita dan cinta karenaNYa.
Wallahu Alam.
Kamis, 18 Agustus 2016
SEKALI LAGI TENTANG KORUPSI
A.
Pendahuluan
Korupsi
merupakan salah satu kata yang sangat populer di masyarakat dan telah menjadi
tema pembicaraan sehari-hari. Namun demikian, ternyata masih banyak masyarakat
yang belum mengetahui apa itu korupsi.
Pada
umumnya masyarakat memahami korupsi sebagai sesuatu yang merugikan keuangan
negara semata. Padahal dalam undang-undang Nomor 31 tahun 1999 juncto undang-undang Nomor 20 tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, ada 30 jenis tindak pidana
korupsi. Ke-30 jenis tidak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu: i) kerugian keuangan negara; ii) suap
menyuap; iii) penggelapan dalam jabatan; iv) pemerasan; v) perbuatan curang;
vi) benturan kepentingan dalam pengadaan dan vii) gratifikasi.
Korupsi
memiliki sejarah yang amat panjang seiring dengan perkembangan peradaban
manusia. Di India, korupsi sudah menjadi permasalahan serius sejak 2300 tahun
yang lalu. Hal ini terbukti dengan adanya tulisan Perdana Menteri Chandra Gupta
tentang 40 cara untuk mencari kekayaan negara. Kerajaan China, pada
ribuan tahun lalu telah menetapkan kebijakan yang disebut Yang-Lian, yaitu
hadiah untuk pejabat negara yang bersih, sebagai inisiatif untuk menekan
korupsi.
Tujuh
abad silam, Pante menyatakan bahwa
para koruptor akan tinggal di kerak neraka dan Shakes Peare mengangkat tema-tema korupsi dalam berbagai karyanya. Plato dalam bukunya The Laws menyatakan bahwa “The servants of the nations are to render their
services without any taking of presents. To form your judgement and then abide
by it is no easy task and its”.
Di
Indonesia korupsi terjadi sejak zaman kerajaan. Bahkan VOC, bangkrut pada awal
abad ke-20 akibat korupsi yang merajalela di tubuh organisasinya. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, banyak
petinggi Belanda kembali ke tanah airnya. Posisi kosong mereka kemudian diisi
oleh kaum pribumi pegawai pemerintah Hindia Belanda (ambtenar) yang tumbuh dan
berkembang di lingkungan korup semasa kolonial.
Begitu
juga di era kerajaan sebelum merdeka, kita dapat menyimak bagaimana tradisi
korupsi terjadi ketika perebutan kekuasaan di kerajaan Singosari sampai tujuh
turunana saling membalas dendam berebut kekuasaan
Anusapati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya.
Sesungguhnya
kehancuran kerajaan-kerajaan besar Sriwijaya, Majapahit dan Mataram adalah
perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui
berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala Putra
Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (Perang Paregreg)
sepeninggal Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya
gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
Pada
tahun 1755 dengan Perjanjian Gianti, VOC memecah Mataram menjadi dua kekuasaan
yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758
VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan
Surakarta dan Mangkunegaran, baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan
Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Perilaku
korup bukan hanya masyarakat Indonesia saja, orang-orang Portugis, Spanyol dan
Belanda pun gemar”-“mengkorup “harta-harta institusi atau pemerintahnya. penyebab
hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul
Liverantie dan Cantigenten. di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke
Negara Belanda.
Dalam
buku History of Java karya Thomas
Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris) yang memerintah Pulau Jawa
tahun 1811-1816, terbit pada tahun 1816 mendapat sambutan yang luar biasa baik
di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat, buku
tersebut menjelaskan cukup gamlang tentang kebudayaan Jawa adat istiadat, iklim,
kandungan mineral, flora dan fauna dll, termasuk juga budaya upeti yang
merupakan cikal bakal berkembangnya korupsi di Indonesia ditiru oleh Belanda
ketika menjajah yang pada akhirnya menimbulkan perlawanan rakyat seperti Perang
Diponegoro (1825-1830), Imam Bonjol (1821-1837), Aceh (1873-1904). Namun yang
sangat menyedihkan adalah penindasan atas penduduk pribumi yang dilakukan oleh
Bangsa Indonesia sendiri yang pada akhirnya upeti ditarik lebih besar untuk
kemudian disetor lebih kecil, disini mulai timbul korupsi secara sistematik,
sehingga akan terus berlanjut walau jaman kolonial penjajahan sudah berakhir.
B.
Memahami
Korupsi
Korupsi
pada dasarnya tidak mudah dirumuskan karena adanya pemahaman yang berlainan
pada tiga tingkatan:
1) Korupsi
yang didefinisikan oleh otoritas penegak hukum.
2) Korupsi
yang berdampak pada kehidupan masyarakat.
3) Korupsi
yang dipersepsi dan diinterpretasikan oleh masyarakat umum yang kemudian
berkembang menjadi opini publik.
Pemahaman mengenai korupsi pada
tiga tingkatan ini bisa saja saling berbeda sehingga melahirkan kontraversi,
seperti terlihat dalam banyak kasus korupsi yang diberitakan oleh media massa.
Kontraversi mengenai korupsi muncul diberitakan oleh media massa karena dua
hal:
1) Kepentingan
politik tertentu (propaganda untuk menyerang, defamasi, dan merusak
kredibilitas lawan politik).
2) Terdapat
pemahaman, persepsi dan interprestasi yang berlainan mengingat definisi korupsi
dirujuk tidak sama.
Namun, definisi korupsi yang lazim
dipakai banyak pihak merujuk pada rumusan yang dibuat Transparancy
International yakni “The abuse of
entrusted power for personal gain” dan rumusan serupa dari World Bank yaitu
“The misuse of public power for private
benefit”. Definisi singkat ini merujuk pada pengertian klasik (akhir
1960-an) tentang korupsi yang dirumuskan secara agak panjang oleh ahli ilmu
politik Joseph S.Nye:
“Corruption
is behaviour which deviates from the normal duties of a public role because of
private-regarding (family, close private clique) pecuniary or status gain; or
violates rules against the exercise of certain types of private-regarding
influence. This includes such behavior as bribary cuse of reward to pervert the
judgement of a person in a position of trust); nepotism (bestowal of patronage
by reason of ascriptive relationship rather than merit) and misappropriation
(illegal appropriation of public resources for private regarding use).
Dalam Wordnet Pricenton Education,
korupsi didefinisikan sebagai “Lack of
integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position
of trust for dishonest again) selanjutnya dalam kamus Collins Co
build arti dari kata Corrupt adalah “some
one who is corrupt behaves in a way that is morally wrong, especially by doing
dishonesty or iilegal things in return for money or power.
Praktek korupsi pasti terkait
dengan pihak-pihak lain di luar struktur pemerintahan. Korupsi setidaknya
melibatkan kerjasama antara dua pihak: pejabat yang memangku keluasaan di
lembaga publik dan pebisnis yang berada di sektor swasta. Bentuk korupsi bisa
beraneka rupa, seperti (i) pengambilan dana publik yang menjadi sumber
pendapatan negara, (ii) penggelapan pajak, (iii) penyunatan alokasi anggaran pembangunan, (iv)
permintaan komisi untuk proyek-proyek yang didanai pemerintah, (v) penyuapan
untuk memuluskan proses legislasi, pembuatan kebijakan publik, persetujuan
anggaran belanja negara dan banyak lagi yang lain.
Klit
Gaard membuat persamaan sederhana tetapi
sangat populer untuk menjelaskan pengertian korupsi, yaitu sebagai berikut:
C
= M + D - A
|
Dimana:
C : Corruption
M : Monopoly
D
: Discretion
A : Accountability
Persamaan diatas menjelaskan bahwa
korupsi hanya bisa terjadi apabila seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak
monopoli atas urusan tertentu serta ditunjang oleh diskresi atau keleluasaan
dalam menggunakan keluasaannya, sehingga cenderung menyalahgunakannya, namun
lemah dalam hal pertanggungjawaban kepada publik (Akuntabilitas)
Dilihat dari perspektif hukum,
korupsi merupakan tindakan kejahatan yakni sesuatu perbuatan melanggar hukum
dan undang-undang. Dalam banyak kasus, korupsi adalah produk dari organized
crime activities yang melibatkan tokoh-tokoh komisi dalam badan negara dan
pejabat pemerintahan yang punya akses pada sumber daya ekonomi politik,
sehingga korupsi menjelma menjadi State Crime atau State Capture.
Penegakan hukum untuk pelaku
korupsi harus dijalankan dengan tegas tanpa kompromi, untuk mencegah merajalelanya praktek korupsi seperti
ungkapan berikut: “in order to reduce
corruption criminal law must be improsed, and pinalties conseguently need to be
set to a chieve effective deterrence.
Dengan demikian upaya pencegahan
korupsi lebih banyak mampu pada sistem hukum sebagai mekanisme penangkal
kejahatan korupsi. Namun dalam kenyataannya praktek korupsi sudah mencengkram
hampir seluruh lembaga negara dan birokrasi pemerintah, sehingga penegakan
hukum seolah tidak efektif sama sekali. Hukum tidak sepenuhnya dapat dijadikan
instrumen untuk mencegah korupsi. Karena itu, korupsi tak bisa dipahami hanya
dari sudut pandang hukum semata atau didekati hanya melalui perspektif legal
belaka, mengingat korupsi itu bersifat Shadowy Subject yang acap kali dipahami
secara berlainan bergantung pada latar belakang budaya suatu masyarakat.
C.
Strategi
Pemberantasan Korupsi
Pada masa
ORLA (orde lama) kultur seperti upeti
masih terus berlanjut dengan sistem dan metode berbeda tetapi tetap
membuat negara menjadi sapi perah oleh bangsa sendiri, begitu juga setelah ORBA
berkuasa korupsilah yang membuat tumbangnya ORBA digantikan dengan jaman
reformasi, apakah pada jaman reformasi korupsi berkurang? Berdasarkan Corruption Perseption Index (CPI) atau
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis Transparancy International
menunjukkan negeri ini masih belum lepas dari budaya korupsi yang sudah
mendarah daging, dilihat dari hasil survey tersebut Indonesia diposisi yang
masih rendah kendati ada kecenderungan peningkatan angka. Pada tahun 2011 IPK
Indonesia ada pada peringkat ke-101 dari 183 negara dengan skor 3,0 (naik
sekitar 0,2 dibanding IPK tahun 2010 atau 1,0 sejak tahun 2004).
Sedang
untuk Indeks Global Corruption Barometer
(GCB) tahun 2010. Menurut GCB 2010, sebagian responden menyatakan pernah
melakukan pembayaran suap. angkanya mencapai 18%, semakin tinggi indeks di
suatu instansi, maka instansi tersebut kian dipersepsikan terkorup. Indeks GCB
memberikan skor tertinggi dengan nilai indeks 3,6 lembaga legislatif, disusul
lembaga kepolisian dan partai politik dengan indeks 3,5. Yudikatif mendapat
indeks 3,3 di susul pejabat eksekutif dengan indeks 3,2.
Bagaimana
dengan hasil survey tahun berikutnya? Berdasarkan survey TI hingga akhir 2014,
Indonesia masih mengalami korupsi yang relatif tinggi. Dalam Corruption Perception Index 2014, negara kita menempati posisi 117 dari 175
negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat
bersih), dalam data tersebut juga diungkapkan bahwa korupsi menempati urutan
teratas dari 18 (delapan belas) faktor penghambat kemudahan berusaha di
Indonesia.
Peraturan
perundang-undangan yang masih membuka kemungkinan tumpang tindihnya perizinan
serta kepastian hukum kadang menjadi masalah lain yang umum terkait usaha di
Indonesia. Di dunia bisnis internasional, dikenal peringkat Ease of Doing Business (EoDB) atau
peringkat kemudahan berusaha di negara-negara tertentu yang dikeluarkan oleh
World Bank. Salah satu indikatornya adalah nilai Starting Business yang
menyangkut penilaian memulai usaha. Pada saat ini, Indonesia berada pada
peringkat ke-129 dalam peringkat EoDB, sementara berada pada peringkat ke-155
untuk Starting Business dari 183
negara.
Pada tahun 2015, Transparansi
Internasional melakukan survey persepsi korupsi 2015
dari
skor tersebut tergambar bahwa terjadi stagnasi berkaitan dengan sektor politik
dan perizinan sehingga strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi
seperti tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 tahun
2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi jangka
panjang 2012-2025 dan jangka menengah tahun 2012-2014, yang merupakan salah
satu Instrument sebagai panduan dalam mencegah dan memberantas korupsi di
Indonesia belum sempurn dalam pelaksanaannya.
Maka untuk memetakan
resiko korupsi dan menilai efektifitas program anti korupsi dalam rangka
pencapaian target-target stranas Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi,
Transparansi Internasional Indonesiaa (TII) didukung oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan survey
Persepsi Korupsi tahun 2015 yang dilakukan di 11 (sebelas) kota di Indonesia
yaitu: Pekanbaru, Semarang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Manado, Medan,
Padang, Bandung, Surabaya, dan Jakarta. Survey tersebut dilakukan serempak pada
20 Mei – 17 Juni 2015 kepada1.100 pengusaha. Pengambilan sampel menggunakan
stratifield random sampling yang bersumber dari Direktori Perusahaan Industri
2014 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik. Pengambilan data dilakukan
oleh enumerator melalui metode wawancara tatap muka dengan pengusaha dengan
panduan kuesioner survei. Kemudian enumerator melakukan proses pemasukan data
dalam portal online.
Dari survey tersebut
diperoleh hasil kota yang memiliki skor tertinggi dalam Indeks Persepsi Korupsi
2015 adalah Kota Banjarmasin dengan skor 68, Kota Surabaya dengan skor 65, dan
Kota Semarang dengan skor 60.
Tabel Indeks Persepsi
Korupsi 2015
No
|
Kota
|
Skor
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
|
Banjarmasin
Surabaya
Semarang
Pontianak
Medan
Jakarta
Utara
Manado
Padang
Makassar
Pekanbaru
Bandung
|
68
65
60
58
57
57
55
50
48
42
39
|
Sumber : TII
Efektifitas pemberantasan koripsi
dan akuntabilitas pendanaan publik dinilai responden memiliki kontribusi paling
besar terhadap penurunan potensi korupsi, tidak kalah penting penurunan potensi
korupsi juga disumbangkan oleh perbaikan persepsi terhadap sektor terdampak
korupsi, penurunan prevelensi korupsi dan penurunan motivasi korupsi seperti
dalam tabel dibawah ini:
Tabel Potensi Korupsi
Kategori dan Unsur
|
2014
|
2015
|
2016
|
PREVELENSI
KORUPSI
|
48
|
53
|
58
|
Suap
dan Korupsi
|
46
|
51
|
57
|
Pejabat
Publik meminta atau menerima suap
|
48
|
53
|
58
|
Penyalahgunaan
keuangan publik untuk kepentingan pribadi
|
49
|
54
|
59
|
Korupsi
oleh pimpinan politik nasional
|
46
|
51
|
57
|
Korupsi
oleh pimpinan politik lokal
|
48
|
53
|
58
|
Korupsi
oleh pegawai publik di tingkat nasional
|
48
|
53
|
58
|
Korupsi
oleh pegawai publik di tingkat lokal
|
48
|
54
|
59
|
AKUNTABILITAS
KEUANGAN PUBLIK
|
52
|
56
|
61
|
Ketiadaan
prosedur jelas dan akuntabel alokasi keuangan publik
|
52
|
56
|
61
|
Banyak
dana khusus yang tidak dipertanggujawabkan
|
50
|
54
|
60
|
Banyak
pejabat publik yang ditunjuk pemerintah
|
50
|
54
|
60
|
Ketiadaan
lembaga independen yang mengaudit keuangan publik
|
54
|
58
|
63
|
Ketiadaan
Pengadilan Independen yang mengadili pejabat korup
|
53
|
57
|
62
|
MOTIVASI
KORUPSI
|
47
|
52
|
58
|
Korupsi
untuk memperoleh dukungan politik berlebih
|
46
|
51
|
57
|
Korupsi
akibat adanya perlakuan istimewa
|
47
|
52
|
58
|
Korupsi
akibat adanya pengamanan proyek pemerintah
|
46
|
51
|
57
|
Korupsi
akibat jual beli pengaruh
|
49
|
54
|
58
|
Korupsi
untuk pendanaan tak tercatat untuk partai politik
|
49
|
53
|
58
|
SEKTOR
TERDAMPAK KORUPSI
|
|||
Korupsi
di perizinan
|
46
|
52
|
59
|
Korupsi di
pelayanan dasar
|
52
|
57
|
63
|
Korupsi di
perpajakan
|
51
|
57
|
64
|
Korupsi di
pengadaan
|
50
|
54
|
61
|
Korupsi di
peradilan
|
47
|
52
|
59
|
Korupsi di
penerbitan kuota perdagangan
|
53
|
57
|
63
|
Korupsi di
kepolisian
|
44
|
48
|
56
|
Korupsi di
perkreditan
|
57
|
62
|
66
|
Korupsi di bea
cukai
|
51
|
55
|
61
|
Korupsi di
instansi pengawas dan pemeriksaan
|
53
|
58
|
63
|
Korupsi di
militer
|
60
|
63
|
67
|
Korupsi di
eksekutif
|
47
|
52
|
58
|
Korupsi di
legislatif
|
44
|
49
|
56
|
PEMBERANTASAN
DAN PENCEGAHAN KORUPSI
|
52
|
56
|
64
|
Penegakan
hukum terhadap pejabat publik korup
|
51
|
55
|
63
|
Pencegahan
korupsi oleh pemerintah
|
52
|
57
|
64
|
D.
Best Practices Pemberantasan Korupsi di Berbagai
Negara
Berikut
pemberantasan korupsi di berbagai negara yang di kompilasi dari buku Dr. Ermansyah Djaja S.H., M.Si., Prof. Dr.
H. Elwi Danil dan John R. Heilbrunn serta
Laporan Kajian oleh Pusat Kajian Administrasi Internasional – Lembaga
Administrasi Negara.
1. Independent Commision
Against Corruption (ICAC) Hongkong
Hongkong tidak dapat dilepas
dari masalah candu atau opium, yang sekarang dikenal dengan narkotika, dari
pemasok utama yaitu segitiga emas (Thailand, Laos, Burma), sehingga pada tahun
1796 dan 1800 Kaisar Cina melarang impor opium dan diperintahkan oleh Kaisar
untuk menyita semua barang haram tersebut dan para orang asing, hal ini
menimbulkan ketegangan dan berakibat perang candu 1839-1842, antara Cina dengan
Inggris waktu itu.
Permasalahan korupsi
yang sangat meluas terjadi pada tahun 60-an dan 70-an tidak terlepas dari
masalah narkotika karena Hongkong tetap jadi tempat transit barang tersebut
yaitu berkoalisi dengan pihak kepolisian Hongkong, setiap harinya kepolisian
Hongkong menerima 10.000 dollar Hongkong dari para sindikat.
Maka dibentuklah ICAC Independent Commision Against Corruption sebagai
ujung tombak pemberantasan korupsi di Hongkong, pada awal pembentukannya
1974-1980-an banyak ditentang oleh masyarakat karena pada waktu itu Hongkong
terjangkit korupsi akut, hampir semua kalangan birokrat.
2. Corrupt Practice
Investigation Bureau (CPIB) Singapura
Korupsi adalah praktek
yang umum di Singapura sepanjang sejarah keterjajahannya. Namun ketika seorang
inspektur polisi mencuri 1.800 ton narkotika tahun 1950-an, Crown Administrator
Singapura mengesahkan Prevention of
Corruption Ordinance dan menciptakan Corrupt
Practices Investigation Bureau (CPIB). Undang-undang ini dimaksudkan untuk
mengirimkan sinyal pada para investor bahwa pemerintah Singapura tidak
menolerir korupsi.
3. Independent Commision
Against Corruption (ICAC) New South Wales –
Australia
Australia pada awal
sejarahnya selama 200 tahun pemerintahan didominasi oleh militer. Australia
menjadi tempat pembuangan penjahat kalap, dengan pemerintahan yang berjalan
dengan sangat korup. Namun 200 tahun kemudian, Australia menjadi salah satu
negara yang paling rendah korup di dunia. Kenyataan ini diperkuat dengan di
bentuknya komisi anti korupsi yang independen dan komisi ini menunjukkan hasil
kerja yang sangat sukses.
Lembaga independen yang
bertugas memberantas korupsi di Australia khususnya negara bagian New South
Wales adalah Independent Commision
Against Corruption (ICAC). Negara bagian New South Wales dengan ibukota
Sydney inilah yang mempunyai komisi anti korupsi lengkap, independen dan
berjalan dengan lancar.
4. The United States
Office of Goverment Ethics, Amerika Serikat
Korupsi
dalam sejarah Amerika Serikat telah mendorong reformasi dan undang-undang
melawan suap dan tindakan korupsi, reformasi dalam undang-undang anti korupsi
di Amerika Serikat terjadi setelah beberapa kasus misalnya Credit Mobilier Scandal pada
tahun 1870-an. Adapun skandal panjang yang berlangsung selama satu dekade yaitu
Tammany Hall di Kota New York pada abad ke-19, Teapot Dome, serta skandal Locheed dan Abscam, masing-masing skandal ini menyebabkan terjadinya reformasi
yang mengubah hukum tentang korupsi di Amerika Serikat.
Skandal Tammany
Hall mendorong disahkannya Pedleton
Act tahun 1808, yang meyakini praktek patronase dan mengatur perilaku
pejabat publik. Teapot Done menjadi
pencetus reformasi gerakan progresif dan kelalaian kongres atas eksekutif.
Skandal penyuapan Lockeed menjadi penyebab lahirnya foreign corrupt practices art (FCPA) pada tahun 1977, berdasarkandengar pendapat dan pengakuan yang
diperoleh dari skandal Lockeed dan Abscam mendorong
terbentuknya Office of goverment Ethics (OGE) sebagai
bagian pendekatan multi agency untuk melawan korupsi birokrasi.
5. Badan
Pencegah Rasuah ( BPR ) Malaysia
Sejak 1961 Malaysia telah memiliki
undang-undang anti korupsi yang pertama tahun 1961 bernama Prevention of Corruption act atau Akta Pencegahan Rasuah Nomor 57,
kemudian diterbitkan lagi Emergency
Essential Powers Ordiance Nomor 22 tahun 1970 lalu dibentuk Badan Pencegah Rasuah
(BPR) berdasarkan Anti Corruption Agency
Act tahun 1982, sekarang berlaku Anti Corruption
Agency Act tahun 1997 yang disingkat ACA sebagai penggabungan ketiga
Undang-Undang dan ordonansi tersebut.
E. Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Titik tekan dalam persoalan korupsi
sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam
upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan
penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan
Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran
dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati
menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara
dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris
Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan
Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu
adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan
– istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya
kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras
dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran
tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha
Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik
Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas
sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet
Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden
No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution
yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua
dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan
kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini di kemudian hah dikenal
dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara
serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan
kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk
menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden
untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak
diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak
Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang
lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena
dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.
Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, prestise Presiden harus
ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain.
Selang beberapa hari kemudian,
Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti
namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana
Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen
Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya
mengalami stagnasi.
a.
Era
Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan
anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim
Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan
ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa
Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud
dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan
TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar
melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara
seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena
dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang
dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof
Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama
adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT
Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena
hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat
sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara
lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di
masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan
pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut
pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila
ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution
juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring
dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama
sekali.
b.
Era
Reformasi
a.
Ketetapan
Majelelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
b.
Masa
pemerintahan Presiden B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi
Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN),
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Lembaga Ombudsman.
c.
Pasal
43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
d.
Masa
Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2000. Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari
anggota tim ini, melalui judicial review Mahkamah
Agung , TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31
Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya
Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga
KPKPN sendiri hilang dan menguap.
F.
KPK Lahir sebagai Trigger Mechanism
Prof. Romli Atmasasmita, dalam
makalahnya berjudul Pembuktian terbalik dalam Kasus Korupsi, 14 Oktober 2006
menyatakan bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan yang
terorganisir dan bersifat lintas batas teritorial transnasional, di samping
pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan migran dan penyelundupan
senjata api. Demikian bunyi ketentuan dalam Konvensi Kejahatan Transnasional
Terorganisasi. Konvensi tahun 2000 ini sudah ditandatangani namun belum
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, sedangkan Konvensi Anti Korupsi tahun
2003 telah diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2006.
Selanjutnya
Prof. Romli Atmasasmita menyatakan bahwa ditempatkannya korupsi sebagai salah
satu kejahatan terorganisasi dan bersifat transnasional didasari beberapa
alasan.
Pertama, Modus operandi korupsi telah menyatu dengan sistem birokrasi hampir di semua negara , termasuk dan tidak terbatas pada negara-negara Asia dan Afrika, dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian terbesar pejabat tinggi. Bahkan seorang Presiden seperti di Filipina dan Nigeria dan beberapa negara Afrika lainnya. Kasus terbaru menyangkut mantan Perdana Menteri Thaksin di Thailand.
Pertama, Modus operandi korupsi telah menyatu dengan sistem birokrasi hampir di semua negara , termasuk dan tidak terbatas pada negara-negara Asia dan Afrika, dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian terbesar pejabat tinggi. Bahkan seorang Presiden seperti di Filipina dan Nigeria dan beberapa negara Afrika lainnya. Kasus terbaru menyangkut mantan Perdana Menteri Thaksin di Thailand.
Kedua, korupsi
terbukti telah melemahkan sistem pemerintahan dari dalam dan merupakan virus
berbahaya dan penyebab proses pembusukan dalam kinerja pemerintahan serta
melemahkan demokrasi.
Ketiga :
pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi didalam sistem birokrasi yang juga
kouptif sehingga memerlukan instrument hukum yang luar biasa untuk mencegah dan
memberantasnya.
Keempat, korupsi
tidak lagi merupakan masalah dalam negeri atau masalah nasional suatu negara,
melainkan sudah merupakan masalah antarnegara atau hubungan antara dua negara
atau lebih, sehingga memerlukan kerjasama aktif antara negara-negara yang berkepentingan
atau dirugikan karena korupsi. Hal ini disebabkan sangat banyak bukti bahwa
aset hasil korupsi ditempatkan di negara yang dianggap aman oleh pelakunya
seperti Kepulauan Cayman, Swiss, Austria dan beberapa negara di Asia dan
Afrika.
Untuk menjawab tantangan yang berat
ini, KPK dilahirkan sebagai trigger
mechanism adalah fungsi yang diamanatkan kepada KPK untuk menjadi pemicu
terhadap upaya pemberantasan korupsi yang sebelumnya mati suri. Dengan dipicu
oleh KPK, maka diharapkan lembaga penegak hukum, yaitu Kepolisian dan
Kejaksaan, bergerak cepat mengusut kasus-kasus dugaan korupsi.
Pendirian KPK tidak lain karena
institusi penegak hukum yang lain, Kepolisian RI dan Kejaksaan RI tidak
mendapatkan kepercayaan dan legitimasi yang kuat dalam menangani kasus korupsi.
Kedua institusi ini juga masih dihadapkan pada problem internal, mewujuekan
kelembagaan yang bersih. Sebagai jalan keluar, dibentuklah KPK ini, yang
memiliki mandat yang besar. Sebagaimana Prf. Dr. Romli Atmasasmita pernah
berujar, tidak ada satupun penegak hukum di dunia, yang memiliki kewenangan
sebesar KPK : sebagai penyelidik, penyidik maupun penuntut umum sekaligus.
Pendirian KPK merupakan a temporary way-out, jalan keluar
sementara. Sejatinya, KPK bukan menjadi bagian dari sistem peradilan pidana ( criminal justice system ) di Indonesia.
KPK tidak didesain untuk menggantikan peran kepolisian dan kejaksaan sebagai
penegak hukum. Sehingga keberadaan bersifat temporal. Karenanya, keberadaan KPK
juga harus memperkuat keberadaan institusi lain, yaitu Kepolisian dan
Kejaksaan. Dalam konteks inilah, terdapat tunggakan pekerjaan terhadap fungsi
KPK yang lain,yaitu melakukan koordinasi dan supervisi terhadap penegak hukum
yang lain sebagai yang belum kunjung dikerjakan dengan baik
oleh KPK periode yang lalu dan yang sekarang. Tunggakan pekerjaan lain , adalah
meredifinikan fungsi KPK dalam mencegah terjadinya korupsi.
Bentuk mandat KPK yang besar bukan
hanya terimplementasikan dalam fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
sekaligus, namun juga funsi koordinasi dan supervisi dalam konteks
pemberantasan korupsi terhadap penegak hukum yang lain, yaitu kepolisian dan
kejaksaan. Realisasi fungsi ini tidak secara mudah dicerna dan dipahami – untuk
tidak dibilang tidak ada – oleh publik dan bahkan oleh DPR ( yang menjadi
satu-satunya lembaga pengawas eksternal lembaga ini).
Pada saat ini, yang dicerna dan
dipahami oleh publik, adalah hubungan yang kurang harmonis antara KPK dengan
kepolisian dan kejaksaan. Hal ini terefleksi dalam Masaro yang menyeret
Pimpinan KPK Bibit-Chandra sebagai tersangka. Bibit dan Chandra ditetapkan
sebagai tersangka oleh Kepolisian karena disangka menerima suap melakukan
pemerasan terhadap Direktur PT. Masaro. Langkah Kepolisian ini diartikan
sebagian LSM sebagai bentuk kriminalisasi terhadap KPK, sehingga menambah
daftar permusuhan publik kepada kepolisian dan kejaksaan. Contoh lain adalah
kesungkakan KPKN untuk mengambil alih kasus Gayus, walaupun ini menjadi
kewenangannya.
Untuk itu, sebagaimana uraian
sebelumnya, pekerjaan rumah (PR) bagi KPK saat ini adalah mengoptimalisasi
fungsi koordinasi dan supervisi dengan lembaga penegak hukum lain. Selama ini
KPK terkesan arogan sebagai single fihter,
menempatkan dirinya sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi. Padahal
sekali lagi lembaga ini di design sebagai
lembaga sementara. KPK bagaimanapun harus memahami psikologi kedua lembaga
hukum lain yang sudah malang melintang puluhan tahun lamanya.
KPK juga mesti menyadari keterbatasan
yang dimiliki oleh lembaga lain, seperti dana penanganan kasus yang jauh lebih
kecil dari KPK. Jawaban dari masalah ini tidak cukup dengan dibuatnya MoU
bersama antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam fungsi koordinasi, namun
lebih dari itu mengatasi psychological
barrier , hambatan psikologi KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Mudah
terbaca, walaupun menjadi kewengannya, keengganan atau kesungkanan KPK
mengambil alih kasus Gayus, dikarenakan faktor ini.
Pekerjaan rumah KPK yang lain adalah
meredifinisikan kembali fungsi pencegahan KPK. Banyaknya koruptor yang masuk
bui, ternyata tida serta merta menjadikan yang lain jera. Sehingga, penghukuman
tidak menimbulkan efek jera. Untuk itu, upaya pencegahan menjadi sesuatu yang
penting. Saat ini, KPK terkesan hanya melakukan sosialisasi kepada masyarakat
tentang korupsi dan mewajibkan calon pejabat negara atau daerah menyerahkan
LHKPN ( Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara) tanpa melakukan verifikasi atas
kebenaran data yang disampaikan. Memang betul, butuh dana, sumber daya manusia
dan waktu yang tidak sedikit untuk melakukan hal ini. Untuk itu, KPK harus
memformulasikan kembali fungsi pencegahan lembaga ini, termasuk juga pengawasan
terhadap lembaga pemerintahan, legeslatif dan yudikatif.
G.
Harapan di Masa Datang untuk
Indonesia Lebih Baik/Kesimpulan
Tujuan akhir dari pemberantasan korupsi adalah
membuat korupsi dari “beresiko kecil dengan ketuntungan besar” menjadi
“beresiko tinggi dengan keuntungan kecil”; sehingga penyelenggaraan
pemerintahan dapat dijalankan lebih efektif dan adil.
Konsep dasar strategi pemberantasan
korupsi dimulai dari cara pandang bahwa korupsi adalah permasalahan sistemik
dalam suatu negara, yang merupakan bentuk kegagalan dari penyelenggaraan
pemerintahan. Sebagai sebuah permasalahan sistemik, maka solusi atas
permasalahan ini mesti secara integral dan menyeluruh. Di sinilah kemudian
dikenal apa yang disebut sebagai Sistem Integritas Nasional.
Sistem Integritas Nasional terdiri
dari institusi dalam semua sektor ( publik, swasta dan sektor ketiga) suatu
negara. Peran dan fungsinya dilaksanakan dengan standar tinggi dalam efektifitas,
transparansi dan akuntabilitas, sehingga satu dengan yang lainnya saling
mendukung untuk menjaga standar tinggi
tersebut dan tingkat korupsi yang rendah, Sistem Integritas Nasional
mencerminkan konsep akuntabilitas horizontal, dimana satu sektor menjadi watchdog bagi instansi lainnya.
Sebagaimana ditulis oleh Jeremy Pope,
dalam bukunya berjudul Strategi Memberantas Korupsi; Elemen Sistem Integritas
Nasional ( Penerbit Transparancy International Indonesia dan Yayasan Obor
Indonesia, 2003) yang menjadi buku
panduan Transparency International.
Korupsi perlu diberantas untuk
mencapai tujuan yang lebih luas, yakni tata kelola pemerintahan yang lebih
efektif, adil dan efesien. Aktivitas anti-korupsi tidak hanya menaruh perhatian
perhatian pada korupsi itu sendiri tetapi juga dampaknya pada masyarakat.
Karena itu, pentingnya untuk memperkirakan kerugian yang ditimbulkan korupsi dan untuk memehami bahwa tidak
mungkin menghilangkan korupsi sampai akar-akarnya dalam sekali pukul.
Memberantas korupsi sampai ke
akar-akarnya jika memang bisa dilakukan, akan menelan banyak biaya atau akan
terlalu luas dan berat. Paling banyak yang dapat diharapkan adalah membatasi
praktik korupsi sampai ke tingkat yang dapat diterima.
Tujuan yang hendak dicapai bukanlah
mewujudkan kejujuran mutlak atau obat mujarab sekali pakai lantas sembuh,
tetapi meningkatkan integritas dalam tata pemerintahan secara keseluruhan.
Untuk memusatkan perhatian pada mengapa dan di mana korupsi merajalela, dan
untuk menciptakan sistem dan prosedur yang dirancang khusus untuk mencegah dan
menghambat perkembangan korupsi. Proses ini sendiri harus memiliki integritas
dalam dirinya. Nilai-nilai lain harus dihormatinya, dan kepentingan yang
beraneka ragam harus diselaraskan.
Sistem Integritas adalah kerangka checks and balance (saling mengimbangi) untuk menghindari
kerusakan yang ditimbulkan korupsi pada kepentingan publik, dan untuk
menciptakan lingkungan yang dapat meningkatkan kualitas keputusan yang diambil
oleh pejabat publik. Sebagai sebuah sistem pilar-pilar kelembagaan Sistem
Integritas Nasional itu meliputi DPR, MPR dan DPD serta Lembaga Eksekutif di
pemerintahan Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)