Kamis, 22 September 2016

Putro Nuswantoro



        
          Tentunya tidak berlebihan ketika kita mencermati dan memahami sebuah budaya suatu daerah kemudian mengaguminya walaupun kita sendiri bukan dari bagian budaya mereka, sehingga kepemilikan sebuah budaya menjadi adi luhung jika setiap orang pun merasa mendapat manfaat secara lahiriah ataupun batiniah, alih-alih budaya sesungguhnya menjadi ciri khusus kultur suatu daerah atau bahkan suatu Bangsa dan Negara, ternyata masyarakatnya bahkan pemudanya sengaja dibuat untuk lebih suka pada budaya yang datangnya dari luar NKRI seperti membanjirnya bajakan film-film Mandarin, Korea, game pokemon go, dll masuk ke laptop-laptop kita bahkan sampai ratusan film tersebut, ironis bukan sementara tidak mengetahui bahkan tidak pernah tau asal usulnya malah dengan bangga memamerkan budaya asing tersebut melekat pada dirinya, dan ini sudah menggejala sampai orang tuanya pun mendiamkan saja bahwa anak-anaknya sudah luntur budaya leluhurnya sendiri, atau orang tuanya malah mencibir budaya sendiri sehingga anak-anaknya pun lebih parah lagi dengan berganti kostum seperti budaya yang kita tidak dikenal itu, miris bukan?
              
              Kekhawatiran itu sebetulnya sudah digambarkan dengan jelas dalam salah satu roman tetralogi buru seri ke-2 Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer, kalau kita tidak mempertahankan budaya Jawa yang adiluhung siapa lagi? Bahwa Jawa adalah Bumi, Eropa dan Dunia juga bumi, tetapi mereka bisa mempertahankan budayanya bahkan sampai intervensi ke Asia, kenapa kita Jawa tidak bisa menularkan budaya Jawa yang sangat luhur dan adiluhung ini?,” begitulah kira-kira makna tersirat dari Roman tersebut.
                Artinya bahwa jangan sampai putus hilang bahkan musnah budaya Jawa, dan ternyata sebagian  literatur kuno Jawa ada di Belanda, hebat bukan? Para pemimpin Jawa atau Raja-Raja Jawa tidak terfikirkan untuk mengkompilasi atau mengumpulkan literatur-literatur kuna untuk disimpan sebagai arsip kebudayaan Jawa Kuno dan dapat ditularkan kembali ke anak cucu kita, bagaimana mungkin kalau literatur itu adanya di Eropa sana? Kapan kita bisa baca-baca meluncur ke Belanda? Oleh sebab itu nguri-uri Budaya Jawa adiluhung ini adalah tugas kita sebagai insan Jawa yang bangga NKRI sebagai sebuah kesatuan Nusa Antara = Nuswantara.
               
           Maka coba kita dengarkan langgam Jawa dengan judul “ Putra Nuswantara” Ciptaan S. Dharmanto yang di lantunkan oleh Alm Manthou’s (Bapak Campur Sari Indonesia), :

Anakku sing bagus dhewe
mbesok pinter sekolahe
yen Wis biso nyambut gawe
kudhu mlaku sak mesthine
Cup menengo ngger anakku
ojo pinter nangis wae

Anakku sing bagus dhewe
mbesok pinter sekolahe
cup menengo ngger anakku
sing tansah tak domo-domo
Dadiyo satrio tomo
Labuh marang nuso bongso
Reff:
Enggal menengo anakku
welaso marang ibumu
didawuhi kudu nggugu
biso gawe mareming atiku

Adoh dununge bapakmu
ngayahi kewajiban luhur
yen wis rampung mesti kondur
nuswantoro subur makmur


      
          Sungguh hal yang wajar bahkan bukan berlebihan, ketika seorang Ayah yang bersuku Jawa dan sekaligus Bapak pada anak-anaknya mengharapkan dengan doa dalam sebait langgam/lagu bernuansa budaya Jawa, tentu ini bukan musrik atau pengharapan yang berlebihan sehingga mengkultuskan pada lagu tersebut itu tidak kesana, hanya memang budaya Jawa yang halus itu memiliki tata krama (aturan budi pekerti) unggah ungguh (aturan main) yang begitu mumpuni sehingga penuanggannya pun sangat welas asih tanpa pemaksaan melakukan pendidikan pada anak-anaknya agar kelak dikemudian hari anak-anak tersebut menjadi berguna bagi nusa dan bangsanya.
Anakku sing bagus dhewe
mbesok pinter sekolahe
yen Wis biso nyambut gawe
kudhu mlaku sak mesthine
Cup menengo ngger anakku
ojo pinter nangis wae

               
Bait pertama ini adalah sebuah optimisme yang ditanamkan pada ananda tanpa ada unsur memaksa tapi dibatasi pada sebuah kepastian yang memang harus ditempuhnya bermula dari kalimat “anakku sing bagus dhewe”  ungkapan ini sangat tajam berharap pada sang Khaliq yang artinya bahwa Anakku paling cakep bagus tidak ada yang menyamainya, wajar bukan? Ketika kita mempersepsikan anak adalah yang terbagus versi kita sebagai Bapaknya, karena langgam ini adalah yang dilantunkan oleh Bapak ketika anak menjelang dewasa menuju paripurna.
                “Mbesok pinter sekolahe”  semoga wahai anakku seketika sekarang sedang menempuh pendidikan sekolah atau kuliah menjadi anak yang pintar, bukan saja sebatas teori yang didapatkan tapi bagaimana mempraktekannya dengan humanis dimasyarakat kelak, sebuah harapan dengan penanaman idealisme pada sang anak, dan sekali lagi wajar bagi seorang Bapak, agar anak-anaknya menjadi orang terbaik kelak.
                “Yen wis biso nyambut gawe” ini adalah makna kelanjutan dari proses belajar, cepatlah diselesaikan kuliah, sekolahnya karena kesempatan untuk nyambut gawe = bekerja itu tidak akan berulang kembali, artinya kalau sudah lulus dan (Yen wis bisa nyambut gawe ) kalau sudah bisa bekerja, disini makna bekerja adalah sudah mandiri, mengurus sendiri, menentukan sendiri, memutuskan sendiri, harus kudhu mlaku sak mestine= berdasarkan aturan-aturan yang benar sumbernya yaitu aturan Illahiah, tidak boleh melenceng dari mlaku  sakmestine” aturan hukum yang ada baik aturan pemerintah maupun aturan Tuhannya.
                “cup menengo anakku, ojo pinter nangis wae” ini cukup penting bahwa berhentilah menangis anakku, jangan hanya pintar menangis terus, bukan berarti kita paksakan anakku untuk berprestasi, ini simbolisasi menangis adalah sebetulnya berkaiatan erat denga kesedihan, dan kesulitan dalam menjalankan kewajiban sebagai murid atau mahasiswa, maka ayah yang sudah mengalami asam garam akan memberikan solusi jika ada aduan tentang kesulitan-kesulitan tempat diskusi anak-anaknya, jangan menangis sebelum mengadu pada Bapakmu, artinya jangan cuman menangis tapi berhentilah menangis berhentilah untuk segera menyelesaikan kesulitan dengan berdiskusi bersama.
Anakku sing bagus dhewe
mbesok pinter sekolahe
cup menengo ngger anakku
sing tansah tak domo-domo
Dadiyo satrio tomo
Labuh marang nuso bongso

sing tansah tak domo-domo” yang selalu Bapak Ibumu harapkan, didoakan setiap hari berkali kali bagi anak-anaknya nanti setelah mengalami masa sekolah lulus dadio satrio utomo” jadilah pemimpin utama konsep kepemimpinan ini bukan pat gulipat tapi desertai dengan pengalaman, keahlian di tempat kuliah, dan praktek ketika sudah menjadi pegawai, ‘labuh marang nusa bongso”  berguna bagi Nusa dan Bangsa.

Sangat halus harapan bagi seorang ayah pada anak-anaknya bahwa ukuran keberhasilan menjadi satrio utomo itu sebetulnya adalah doa doa orang tua agar berbudi luhur menjadi panutan dalam kepeimimpinan berbangsa kelak. Inilah dasar utama dalam mengarungi belantara kehidupan artinya persiapan harus sudah dilakukan menjelang penyelesaian kuliah atau sekolah.

Reff:
Enggal menengo anakku
welaso marang ibumu
didawuhi kudu nggugu
biso gawe mareming atiku


“enggal menengo anakku”  cepatlah berhenti dalam kesedihan dan kesulitan anakku, segeralah selesaikan sekolah dan kuliahmu,  “welaso marang ibumu”  kasihanilah pada ibumu, tentu saja jika anak-anaknya  menyelesaikan kuliah maka Ayah dan terutama Ibu sangat berharap sekali, karena bagaimana rasanya Ibumu mengandung dahulu 9 bulan 10 hari, tidur kekiri susah kekanan susah, berjalan berat cepat lelah, ada harapan dengan selesainya kuliah sama halnya dengan kelegaan Ibumu melahirkanmu dengan selamat, ini merupakan psikologis seorang Ibu yang memang harus diketahui oleh anak-anaknya dan wejangan ini Bapakmulah yang menyampaikan “welaso marang ibumu” agar anak-anak menjadi faham, bagaimana seharusnya bersikap sebagai orang Jawa, bukan bersikap seperti sikap orang Luar Negeri ( Korea, Jepang dll ) yang mereka tidak pernah merasakan mengandungmu, “didawuhi kudu nggugu” ini adalah bahasa yang halus kromo inggil diberikan pada anak-anak, biasakan seorang Bapak berkromo inggil dalam Jawa, sebuah penghormatan agar anak-anaknya juga melakukan unggah ungguh sopan santun menghormati yang lebih tua, sopan pada yang muda, makna dari itu didawuhi kudu nggugu adalah ketika sebagai anak di nasehati harus melaksanakan nasehat tersebut harus faham, diberikan pengertian mestinya lebih faham dan ngerti, pada akhirnya akan membuat sang Ayah sang Bapak merasa lega, atas nasehat nasehat yang telah dilaksankan anak-anaknya= “bisa gawe mareme atiku” membuat hati Ayahmu marem tenang dan tentram.
Adoh dununge bapakmu
ngayahi kewajiban luhur
yen wis rampung mesti kondur
nuswantoro subur makmur
Nah luar biasa kenapa Bapak menginginkan agar nasehat-nasehat untuk kebaikan itu dilaksanakan? dan akan membuat hati Bapak menjadi terang dan tentram karena “adoh dununge bapakmu” = jauhnya tempat ayahmu mencari nafkah, “ngayahi kewajiban luhur” = sebgai kewajiban ayah mencari nafkah buat keluarganya sehingga agar setiap pekerjaan yang dilakukan ayahmu tidak terbagi hanya karena memikirkan perbuatan dan kelakuan yang tidak sesuai aturan anak-anaknya atau tidak menuruti nesehat ayahmu, konsentrasi ayahmu menjadi buyar dan hal ini akan terkait erat dengan psikologis Ibumu menjadi semakin lemah secara psikis, maka Bapakmu tidak menginginkan hal ini terjadi.
“ yen wis rampung mesti kondur” = kalau sudah selesai mencari nafkah ayah pasti pulang,  lagi lagi ini sebuah bahasa membahasakan halus buat anak-anaknya kromo inggil kondur, walau kata untuk anak sendiri sebagai bukti keluhuran Jawa tidak dimiliki oleh bangsa lain, sekaligus melatih anaknya agar berbuat begitu pada keturunannya kelak.
“ Nuswantara subur makmur “ bahwa kepulangan ayah dari tempat kerja mencari nafkah adalah cerminan  Indonesia atau dahulu terkenal dengan Nusa Antara = Nuswantara subur makmur, sekaligus memberikan pelajaran bahwa silahkan anak-anak setelah selesai menamatkan kuliah bertebaranlah ke seluruh Nusantara , karena subur makmur dan disanalah banyak peluang-peluan untuk berkarya. Wallau alam

2 komentar: