Jumat, 22 Juli 2016

Ajining Diri Gumantung Kedhaling Lathi

       Tiba-tiba ada kiriman dari seorang kawan lama via wa  sebuah foto seperti di samping, langsung saya buka weh lah dalah, dalem banget nih isinya dalam pikiran saya langsung berujar, pasti orang yang nempel di tempat usahanya ini orang jawa yang bener-bener faham dan tau betul apa yang di jadikan moto dalam menjalankan usaha bengkel motor tersebut.
      Kemudian kawan lama saya tersebut bilang, Pak ini semua apakah dari petuah Sunan Kali Jaga? wah saya   terperangah juga, soalnya saya sendiri orang jawa tengah bagian pinggiran maksudnya pinggiran laut selatan, Cilacap ha ha ha... jadi tidak dekat dengan Keraton Yogyakarta ataupun Solo.
Adalah perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang oleh banyak pihak disebut-sebut sebagai taktik adu domba Belanda melalui VOC untuk memecah Kerajaan Mataram, yang akhirnya melahirkan Yogyakarta dan Surakarta. Perjanjian Giyanti memecah Mataram, kerajaan terbesar di Jawa masa itu menjadi dua bagian yakni wilayah sebelah timur yang menjadi milik Paku Buwono dan wilayah sebelah barat yang menjadi bagian Pangeran Mangkubumi. Pada perkembangannya dua wilayah dengan dua pemimpin itu melahirkan Kasunanan Surakarta yang membangun Kraton baru di desa Sala dan Kasultanan Yogyakarta yang membangun Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Mataram Baru. Dari dua pusat kerajaan baru itulah perkembangan Kota Jogja dan Solo bermula.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wardhanahendra/yogyakarta-dan-surakarta-si-kembar-yang-sangat-beda-rupa_55291d43f17e61d93a8b4596
      Adalah perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang oleh banyak pihak disebut-sebut sebagai taktik adu domba Penjajah Belanda melalui VOC untuk memecah Kerajaan Mataram, yang akhirnya melahirkan Yogyakarta dan Surakarta. 
      Perjanjian Giyanti memecah Mataram, kerajaan terbesar di Jawa masa itu menjadi dua bagian yakni wilayah sebelah timur yang menjadi milik Paku Buwono dan wilayah sebelah barat yang menjadi bagian Pangeran Mangkubumi. 
     Pada perkembangannya dua wilayah dengan dua pemimpin itu melahirkan Kasunanan Surakarta yang membangun Kraton baru di desa Sala dan Kasultanan Yogyakarta yang membangun Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Mataram Baru. Dari dua pusat kerajaan baru itulah perkembangan Kota Jogja dan Solo bermula, panjang ceritanya kapan-kapan kita bahas he he he
Adalah perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang oleh banyak pihak disebut-sebut sebagai taktik adu domba Belanda melalui VOC untuk memecah Kerajaan Mataram, yang akhirnya melahirkan Yogyakarta dan Surakarta. Perjanjian Giyanti memecah Mataram, kerajaan terbesar di Jawa masa itu menjadi dua bagian yakni wilayah sebelah timur yang menjadi milik Paku Buwono dan wilayah sebelah barat yang menjadi bagian Pangeran Mangkubumi. Pada perkembangannya dua wilayah dengan dua pemimpin itu melahirkan Kasunanan Surakarta yang membangun Kraton baru di desa Sala dan Kasultanan Yogyakarta yang membangun Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Mataram Baru. Dari dua pusat kerajaan baru itulah perkembangan Kota Jogja dan Solo bermula.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wardhanahendra/yogyakarta-dan-surakarta-si-kembar-yang-sangat-beda-rupa_55291d43f17e61d93a8b4596
Adalah perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang oleh banyak pihak disebut-sebut sebagai taktik adu domba Belanda melalui VOC untuk memecah Kerajaan Mataram, yang akhirnya melahirkan Yogyakarta dan Surakarta. Perjanjian Giyanti memecah Mataram, kerajaan terbesar di Jawa masa itu menjadi dua bagian yakni wilayah sebelah timur yang menjadi milik Paku Buwono dan wilayah sebelah barat yang menjadi bagian Pangeran Mangkubumi. Pada perkembangannya dua wilayah dengan dua pemimpin itu melahirkan Kasunanan Surakarta yang membangun Kraton baru di desa Sala dan Kasultanan Yogyakarta yang membangun Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Mataram Baru. Dari dua pusat kerajaan baru itulah perkembangan Kota Jogja dan Solo bermula.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wardhanahendra/yogyakarta-dan-surakarta-si-kembar-yang-sangat-beda-rupa_55291d43f17e61d93a8b4596

Adalah perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang oleh banyak pihak disebut-sebut sebagai taktik adu domba Belanda melalui VOC untuk memecah Kerajaan Mataram, yang akhirnya melahirkan Yogyakarta dan Surakarta. Perjanjian Giyanti memecah Mataram, kerajaan terbesar di Jawa masa itu menjadi dua bagian yakni wilayah sebelah timur yang menjadi milik Paku Buwono dan wilayah sebelah barat yang menjadi bagian Pangeran Mangkubumi. Pada perkembangannya dua wilayah dengan dua pemimpin itu melahirkan Kasunanan Surakarta yang membangun Kraton baru di desa Sala dan Kasultanan Yogyakarta yang membangun Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Mataram Baru. Dari dua pusat kerajaan baru itulah perkembangan Kota Jogja dan Solo bermula.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wardhanahendra/yogyakarta-dan-surakarta-si-kembar-yang-sangat-beda-rupa_55291d43f17e61d93a8b4596
     Nah ternyata kawan lama saya tersebut pernah membaca status di wa saya,  " Banda Kuwi Mung Titipan, Pangkat Kuwi Mung Sampiran...." dan diwaktu perpisahan beliau pindah tugas ke salah satu Provinsi di Sumatera, status wa saya tersebut dijadikan pengantar kesan dan pesannya.
     Akhirnya saya mengerutkan kening, soalnya permintaan khusus, Pak tolong artikan satu-satu semua yang di foto itu? siap ! dalam hati saya bilang  kalau  diartikan tanpa  analogi, khawatir kuwalat sama Kanjeng Sunan Kalijaga ha ha ha.
      Maka lengkapnya adalah " Ajining Diri Gumanthung Kedhaling Lathi, Ajining Raga Gumantung Saka Busana, Giri Lusi Janmo Tankeno Ingino ", nah lengkaplah petuah Jawa ini tentunya disarikan dari pemahamaman Illahiah dan ke Tauhidan leluhur sehingga muncul petuah yang sangat dahsyat dalam bermasyarakat.
         Tentunya bukan bermaksud menggurui atau merasa lebih pintar, saya sendiri baru beranjak belajar untuk faham tentang budaya Jawa, sekaligus belajar menetralisir bahwa sesungguhnya Jawa Itu bukan klenik, bahwa Jawa itu  bukan mistik, sesungguhnya Jawa itu Islami yang sengaja di distorsi oleh Penjajah Belanda untuk kepentingan de vide et impera penjajah, oleh sebab itu jiwa patriotisme saya pun terpanggil untuk menetralisirkan bahwa Jawa itu Islami, tanpa klenik tanpa mistik.
            Maka  Ajining Diri Gumanthung Kedhaling Lathi, Ajining Raga Gumantung Saka Busana, Giri Lusi Janmo Tankeno Ingino ini sesunggunya pengejawentahan atau sebuah praktek nyata dari penafsiran para Ulama Jawa dari Hadist Nabi Muhammad SAW yaitu :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

[رواه البخاري ومسلم]


Terjemah hadits / ترجمة الحديث :

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya (Riwayat Bukhori dan Muslim).

     Maksud dari Ajining Diri Gumanthung Kedhaling Lathi,itu bermakna bahwa sesiapa yang berkata-kata berucap dengan nada baik dengan kalimat-kalimat sopan-santun, baik kepada yang lebih tua maupun kepada yang muda maka akan dihormati dan dihargai oleh orang sekitar, sebab lathi=Lidah ucapan bisa menimbulkan sakwasangka bisa menimbulkan fitnah bahkan bisa menimbulkan peperangan, sehingga Rasulallah Muhammad SAW dalam hadist diatas menyandingkan antara berimannya seseorang kepada Allah SWT dengan ucapan yang dikeluarkan oleh orang tersebut, fal ya qul Khoir = berkata benar  atau 'auliyashmut = atau diam, sehingga apa yang keluar dari lathi = lidah itu akan menyelamatkan kita semua dari bencana fitnah dan lain sebagainya.
       Karena lathi = lidah ini juga dapat menciptakan katentreman, ketengan dan guyup rukun gotong royong ikhlas dalam bekerja tanpa ada rasa paksaan atau tanpa ada rasa saling curiga antar sesama.   Akhirnya hidup ini pun menjadi indah, tentram damai , hati pun tenang saling menghargai sesama, yang tua ataupun yang lebih muda, semoga kita bisa menjalankannya. 

Wallahu Alam.
  


 Ajining Raga Gumantung Saka Busana, Giri Lusi Janmo Tankeno Ingin, nyusul ya Bro.