Judulnya sangat njawani, karena
memang penulis adalah orang jawa itupun jawa keturunan Werkudara (kalau memang
Werkudara itu ada), kok? lha iya Werkudara atau Bima Sena dalam cerita
perwayangan itu tidak pernah berbicara menggunakan bahasa krama inggil alias
pakai bahasa ngapak, sebab ora ngapak ya ora kepenak. Itu kira-kira
semboyan anak muda Banyumasan yang banyak di tulis di kaos-kaos oblong oleh
oleh dari sana.
Begitu juga dengan istilah Aja
Gegoh, aja reang sing rukun sing guyub (jangan ribut jangan berisik,
bersatulah bekerjasamalah), pemaknaannya hampir sama dengan "Gugur Gunung
Tandang Gawe, Sayuk Rukun ra Kancane" (bekerja bersama sama/kerja bakti,
bersatu padu rukun dengan teman/tetangga ) semuanya mengajak pada satu tujuan
yaitu guyub rukun sesama teman atau tetangga.
Maka dari itu konsep guyub dan rukun
disandingkan dengan gugur gunung tandang gawe adalah sebuah keniscayaan harus
tetap dilaksanakan secara bersama sama secara kekeluargaan , artinya tidak bisa
dijalankan sendirian Gugur Gunung tanpa mengindahkan sebuah kebersamaan dalam
sebuah keluarga sekecil RT sekalipun.
Ada
beberapa formula bertetangga yang kemungkinan besar sudah kita fahami bersama
yaitu :
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memerintahkan
kita untuk berbuat baik kepada tetanggga, dalam firman-Nya:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ [النساء:36[
“ Dan
beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun (jangan berbuat syirik). Dan berbuat baiklah kepada dua orang tuamu,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, dan
tetangga yang jauh.” (QS. An-Nisa`: 36)
Dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma,
bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
" مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِى بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ يُوَرِّثُهُ "
” Jibril 'alaihissalam senantiasa
(terus-menerus) berpesan kepadaku (untuk berbuat baik) dengan tetangga,sehingga
aku mengira bahwasanya dia akan memberikan hak waris kepada tetangga.” (HR.
Al-Bukhari no. 6014 dan 6015, Muslim no. 6852 dan 6854, dan imam-imam ahli
hadits lainnya).
Tentu
saja bertetangga itu bukan hanya dominasi kaum laki laki saja, ada wanita
disisi lain dan anak-anak sebagai pelengkap bertetangga. Jika kemudian bahwa
bertetangga adalah dominasi kaum laki-laki saja maka para wanita akan
dikemanakan?
Maka
dari itu Gugur gunung tandang gawe sayuk rukun ra kancane, adalah cerminan
bertetangga dan bermasyarakat secara menyeluruh tidak ada diskriminasi secara
sistemik yang akan berakibat pada " Gegoh dan Reang" tak ada
ujungnya.
Itulah kemudian dalam wilayah kepemimpinan yang
digambarkan pada setiap shalat berjamaah yang dipimpin oleh seorang Imam, maka
koreksi atas kesalahan "gerakan" shalat pemimpin dalam hal ini
adalah Imam boleh dan wajib dilakukan oleh siapapun baik jamaah laki-laki
dengan mengucapkan Subhanallah atau jamaah wanita dengan menepukkan tangannya,
tujuannya apa? yaitu untuk kebaikan sang pemimpin itu sendiri dan kebaikan
makmum atau masyarakat di masa-masa yang akan datang, indah bukan.
Pun demikian sebuah musyawarah dan
mufakat adalah jalan terbaik sebelum melakukan sebuah gerakan/kegiatan yang
berakibat pada perubahan lingkungan kepemimpinan, sehingga mengakui sebuah
kesalahan dihadapan manusia tidak akan mengurangi kewibawaan bahkan akan lebih
mulia daripada malu dihadapan Allah SWT.
Akhirnya Gugur gunung
tandang gawe sayuk rukun ra kancane, menjadi pari purna dalam
kebersamaan tanpa ada rasa paling digdaya sehingga akan terhindar dari gegoh dan reang akhirnya menjadi
rukun dan guyub.
Refleksi
akhir tahun anggaran
Bagaimana membumikan Gugur Gunung
Tandanggawe Sayuk Rukun Ra Kancane, Aja Gegoh Aja Reang Sing Guyup Sing Rukun dalam irama para Aparatur Sipil Negara (ASN)
atau lebih menterengya para Birokrat
yang tentunya diwilayah tersebut terdapat sebuah struktur organisasi
yang sangat kuat garis komandonya, ada Bidang-Bidang, Seksi-Seksi dan wilayah
struktur terkecil vertikal disetiap daerah wilayah di Indonesia, yang tidak
kalah pentingnya pada struktur terkecil adalah
para staf, apakah mungkin bisa dan dapat diaplikasikan untuk kelancaran
penyelesian tujuan sebuah pekerjaan pada masa awal dan akhir tahun anggaran?
Penulis tidak akan mengulas ilmu-ilmu
manajemen yang sudah diluar kepala para Birokrat, Plan, Do, Check, Action,
Evaluation dan tidak akan mengupas tentang Teori Managemen faunndhing father Peter Drucker, POAC/Planning, Organizing, Actuating dan Controling,
atau Bapak manajemen Indonesia Raden
Mas Soewardi Soerjaningrat yang kita kenal dengan nama Ki Hajar Dewantara dengan filosofis manajemenya, beliau
mengejawentahkan dalam rumus manajemen Jawa Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Maka Gunung
dalam benak kita adalah sesuatu yang besar menjulang tinggi dengan hutan lebat rimbun
hijau yang eksotik menarik untuk dilakukan eksploitasi secara masal oleh
siapapun juga. Bahkan ada usaha-usaha tangan jahil untuk memonopolinya untuk
kepentingan pribadi atau golongan saja.
APBN kita ibarat seperti gunung eksotik untuk dieksploitasi secara masal
dari awal tahun sampai akhir tahun anggaran secara sistemik dan
berkesinambungan, namun anehnya hal ini terjadi pada setiap akhir tahun
anggaran berdatangan ke KPPN berduyun-duyun mengajukan tagihan kepada negara, berulang
setiap tahun bahkan terfasilitasi dengan munculnya ketetapan langkah-langkah
akhir tahun anggaran untuk percepatan ekspoitasi terebut, tidak berlebihan jika
APBN ibarat gunung yang akan dipangkas habis hanya dua bulan terakhir pada
setiap tahunnya, terus mereka 11 bulan atau 10 bulan yang lalu apa yang
dikerjakan ? Nungguin Gunung runtuh sendiri? Atau biarlah gunung itu tinggi toh
akan habis juga pada akhir tahun nanti. Arti
sebenarnya mungkin yang bersangkutan
tidak pernah merasa menjadi gunung sehingga cara eksploitasinyapun sporadis
tidak simultan dan terkesan asal-asalan, yang penting cair yang penting gunung
rata. Wow...
Sangat beda memang ketika Gunung tersebut dalam pandangan Kuasa BUN
penguasa gunung, tentu saja kita bukan ingin kembali pada Per-66/PB/2005 loh,
terkadang rindu juga sisi positif Per-66/PB/2005 untuk menjembatani putusnya
ekspoitasi asal-asalan pemilik gunung dengan penguasa gunung yang memang sudah dipisahkan
oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004, pemisahan administrasi beheer berada pada Kementerian Negara/Lembaga dan comtable
beheer berada pada Kementerian Keuangan dengan dilahirkannya PMK 190/PMK.05/2012
dalam porses pelaksanaan eksploitasi Gunung tersebut. Oleh sebab itu Gugur Gunung Tandang Gawe, jika
Gunung dimaknai APBN maka proses pelaksanaan eksploitasi/gugur gunung harus
bersama sama/tandang gawe tentu saja Sayuk rukun ra Kancane bersama-bersama teman
satu kantor meratakan gunung dengan pemahaman yang sama satu nafas satu irama,
tentunya agar alunan meratakan gunung menjadi indah didengar oleh pemilik
gunung di seantero Nusantara dan akhirnya tidak merepotkan penguasa gunung di
seluruh nusantara, maka kita harus memahami fungsi kita sebagi BUN tidak boleh
masuk dalam wilayah adminstratif beheer, agar dalam meratakan gunung ini akan indah pada akhirnya, tidak timbul masalah hukum di kemudian hari.
Administratif beheer inilah
sesunggunya kewenangan yang ada pada Kementerin Negara/Lembaga untuk melakukan
perikatan, tindakan-tindakan lainnya yang mengakibatkan terjadinya penerimaan dan pengeluaran negara,
melakukan pengujian, dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada Kementerian/Lembaga
sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran
atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran.
Dilain pihak KPPN sebagai Kuasa BUN
bukanlah sekedar kasir yang hanya berwenang melaksanakan penerimaan dan
pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran penerimaan dan pengeluaran
tersebut, tentunya dalam konteks sebagai wakil Menteri Keuangan KPPN sebagai
kasir, pengawas keuangan dan manajer keuangan. Keren dong...
Fungsi pengawasan keuangan di sini
terbatas pada aspek rechmatigheid dan
wetmatigheid hanya dilakukan pada
saat terjadinya penerimaan atau pengeluaran,
sehingga berbeda dangan fungsi per-audit yang
dilakukan oleh kementerian teknis atau post
audit yang dilakukan oleh aparat pengawas fungsional.
Dengan demikian, dapat dijalankan
salah satu prinsip pengendalian intern yang sangat penting dalam proses
pelaksanaan anggaran, yaitu pemisahan tegas pemegang kewenangan administratif
dan pemegang fungsi pembayaran (comtable)
tentunya harus dijalankan secara konsisten pada insan KPPN sebagai Kuasa BUN
sehingga tidak menimbulkan “deformasi” yang berakibat kurang efektif untuk
mencegah dan/atau menimbulkan penyimpangan dalam pelaksnanan penerimaan dan
pengeluaran negara.
Pada akhirnya Gugur Gunung Tandang Gawe Sayuk Rukun Ra Kancane, aja gegoh
aja reang sing rukun sing guyub adalah sebuah definisi baru menurur penulis dalam
pemaknaan pelaksanaan APBN versi terminologi jawa hal ini tentunya Gunung/APBN harus
rata terserap sempurna, dikerjakan bersama-sama rukun dengan semua komponen staff, lower manager, midle manajer dan top
manajer aja gegoh jangan berantem, aja reang jangan gaduh degan sesama
rukun sajalah bersama sama, maka gunung pun akan teratakan dengan mudah sesuai
kaidah Perberndaharaan. Bravo Ditjen Perbendaharaan.