Ketika
kita mendengar melihat dan membaca tentang kata Jawara maka yang terbersit
dalam pikiran kita adalah mengarah kepada sesosok orang, tinggi besar,
berkumis, pakaian serba hitam tak lupa terselip dipinggang golok yang siap
diayunkan untuk memenggal siapapun yang menggangu atasnya, bahkan para jawara
senantisa dikelilingi oleh perempuan-perempuan cantik sebagai perlambang
kejantanannya, “jago wadon lan luhur”(tukang main perempuan dan tukang
bohong)”jago wadon lan harta” tukang main perempuan dan tamak harta, benarkah demikian? Dan kenapa demikian buruknya persepsi sebagian
kita terhadap jawara?
Atau
adakah yang sengaja membuat persepsi se-negatif ini? Atau bahkan memang kita tidak
memahami benar tentang apa, seperti apa dan bagaimana awal mula seseorang
disebut sebagai Jawara? Apalagi ketika kita berada pada wilayah Banten yang
cukup banyak Jawara-Jawara, kenapa demikian?
Nah
ini yang kemudian membuat penulis melakukan penelitian sederhana yang pada
akhirnya menemukan beberapa hal yang sesungguhnya membuat penulis semakin yakin
bahwa Jawara itu tidak bisa dipersepsikan negatif pada seseorang yang
mendapatkan gelar tersebut, dan mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat
menjadikan kita semua dan pembaca lainya atau para Jawara yang membacanya akan
lebih arif dan lebih bijak dalam melangkah jika sudah mendapatkan gelar Jawara.
Baiklah
mari kita awali dahulu tentang apa siapa
dan sepertiapa jawara itu, menurut salah seorng dekan UIN Maulana Hasanudin,
Banten disampaikan bahwa jawara itu adalah murid dari para Kyai, pada masa revolusi dahulu ketika melawan
penjajahan dalam rangka bela negara untuk mempertahankan kedaulatan suatu
wilayah para Kyai mempertahankan wilayah kepanjangan tangan dari Kasultanan di
wilayahnya masing-masing, sehingga para murid disamping dibekali ilmu agama
mereka juga diajarkan bela diri olah kanoragan, disamping itu para Kyai memiliki
Pesantren-pesantren sebagai benteng terakhir untuk memobilisasi masa ketika
Kasultanan Banten mendapat gempurn sangat dahsyat dari para penjajah baik
bangsa Portugis maupun Belanda sehingga dalam budaya Banten waktu itu Jawara
adalah khodim (pembantu) nya Kyai, atau lebih terkenal dengan sebutan
Juwara/jawara iku tentrane kiyai (jawara itu tentaranya para Kyai).
Pergeseran
makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif terjadi pada abad ke
19 ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh kekacauan dan perampokan yang
tiada tara. Hal ini kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dimanfaatkan
untuk membentuk stigma negatif kepada para pejuang dari kalangan pendekar
persilatan dan kaum ulama. Stigma negatif ini sengaja diciptakan Belanda dalam
upaya memprovokasi masyarakat untuk menganggap mereka sebagai pembuat onar,
pengacau, dan perampok. Sehingga mencap semua kaum jawara adalah bandit dalam bentuk gerakan sosial, yang bermaksud melawan penjajahan asing
dianggap sebagai onsluten (keonaran),
ongergeldheden (pemberontakan), complot (komplotan), woelingen (kekacauan), dan onrust (ketidak amanan). Sejak saat
itulah para pendekar persilatan dan ulama yang mengadakan perlawanan dianggap
sebagai jawara, yang merupakan akronim dari jalma
wani nga-rampog (orang yang berani merampok) atau orang yang berani
menipu/pembohong (jalma wani nga-rahul). Konotasi negatif ini terus berkembang
sampai abad ke 20, dan hingga kini tidak sedikit masyarakat yang termakan oleh
stigma negatif penjajah Belanda tersebut.
Seiring
dengan perkembangan waktu, Jawara yang merasa citranya terjebak dalam konotasi
negatif masyarakat yang diciptakan Belanda, berusaha mengcounter dengan istilah
jalma
jago nu wani ramah (orang yang jagoan berani dan ramah). Tentu ada pula
segelintir jawara yang memiliki perilaku negatif, namun hal ini dapat
diselesaikan di dalam internal kelompok “kejawaraan” nya itu sendiri. Umunya dalam
suatu organisasi kejawaraan terdapat aturan-aturan yang bersifat konvesional
untuk menyelesaikan permasalahan, terutama terhadap jawara yang berperilaku
negatif.
Jawara, Jagoan, dan Preman
Belum
adanya pencatatan histographia mengenai awal mula kemunculan istilah jawara di
masyarakat Banten dan Jawa bagian Barat, menyulitkan untuk diketahui secara
pasti kapan dan dimana penggunaan istilah Jawara ini diberikan kepada seseorang
yang memiliki kunggulan fisik dan supranatural, dan cenderung menggunakan
kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalannya. Begitupun halnya dengan
istilah jawara itu sendiri. Penyusuran proses kemunculan istilah jawara baru
terbatas pada sejarah sosial (budaya tutur) bersifat stamboom bukan geschiedenis
atau history, yang secara akademis
sukar untuk dipertanggung jawabkan.
Istilah
jawara muncul sebagaimana yang diungkapkan RM Taufik Djajadiningrat, tatkala
dimulainya pembangunan Jalan Raya Pos Deandles (1808-1811) antara
Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan yang sangat merugikan rakyat ini menimbulkan
pemberontakan dikalangan para pendekar persilatan, dikenal dengan peristiwa
Perang Pertama. Dari peristiwa pemberontakan ini memunculkan julukan jawara
yang ditujukan kepada mereka.
Dari
stamboom yang ada, sebagian besar
masyarakat sepakat untuk menunjuk daerah Banten sebagai tempat dimana istilah
ini pertama kali muncul, karena jawara merupakan salah satu entitas masyarakat
Banten yang sangat terkenal. Hingga dalam perkembangannya menyebar ke beberapa
daerah yang melingkupinya termasuk Betawi, Bekasi-Pantura, Bogor dan Priangan
bersamaan dengan dimulainya proyek pembangunan Jalan Raya Pos Deandles (RM.
Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan
Banten, 1995 : 121-122).
Pada
awalnya istilah jawara memiliki makna sebagai jagoan, dengan pengertian jago
dalam menyabung ayam dan bela diri pencak silat. Selain itu, mereka pun
memiliki kemampuan untuk mempertontonkan ilmu kekebalan. Kemampuan-kemampuan
itu dipergunakan oleh para jawara untuk membela dan menciptakan rasa aman dan
ketenangan di lingkungannya. Kemampuan itu mereka miliki karena kedudukannya
sebagai pemimpin informal di tengah-tengah masyarakat, baik semasa kerajaan
Sunda, kesultanan Banten, maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Secara
umum jawara memiliki definisi sebagai orang yang memiliki kepandaian bermain
silat dan memiliki keterampilan-keterampilan tertentu. Berbeda dengan perampok
atau pencuri, mereka adalah figur seorang yang mampu menjaga keselamatan dan
keamanan desa, sehingga karenanya masyarakat menghormati keberadaan mereka.
Pada umumnya, jawara sangat patuh kepada ulama, karena semangat dalam jiwa
mereka diperoleh dari para kaum ulama. Di tanah Betawi sendiri hampir memiliki
makna yang sama, namun istilah jawara bagi masyarakat natif Betawi berangkat
dari istilah “potong letter” lidah
natif Betawi yaitu juware atau juara yang tidak terkalahkan dalam hal bela diri
“maenpukulan” atau pencak silat.
Berbeda
dengan Jagoan, kata ini berasal dari kata dasar “jago” yang menurut Ridwan
Saidi merupakan loanword dari bahasa Portugis Jogo yang artinya champion atau juara (Ridwan Saidi,
Glosari Betawi: 43). Disisi lain menurut tradisi lisan, jago merupakan istilah
yang agak umum bagi golongan “tukang pukul” dan seorang yang suka berkelahi.
Jagoan bernada lebih positif ketimbang istilah preman pada masa kini. Jagoan
adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang berpengaruh dan disegani di
kampungnya, orang yang kuat, tukang pukul dan pemberani. Secara hirarki, jagoan
dianggap lebih rendah kedudukannya dibanding jawara. Karena sebagaimana seperti
yang disebutkan di atas, jawara dapat dikatakan sebagai istilah lain dari
pendekar, ksatria yang ditokohkan masyarakat sebagai orang yang suka memberikan
perlindungan dan keselamatan secara fisik terhadap masyarakat, juga dianggap
sebagai orang yang dituakan atau sesepuh.
Lalu
bagaimana dengan preman?. Secara etimologi preman merupakan loanword dari
bahasa Belanda, Vrijman yang bermakna “orang bebas” atau dalam bahasa Inggris
disebut free man. Dalam Kamus Bahasa Indonesia akan kita temukan paling
tidak 3 arti kata preman, yaitu: 1. swasta, partikelir, non pemerintah, bukan
tentara, sipil. 2. sebutan orang jahat (yang suka memeras dan melakukan
kejahatan) 3. kuli yang bekerja menggarap sawah. Secara umum istilah preman
dapat disimpulkan sebagai sebutan pejoratif (kata sandang merendahkan) yang
sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang
mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.
Dari tiga terminologi di atas, hendaknya kita masih dapat
membedakan makna, fungsi dan peranan masing-masing dalam masyarakat. Sehingga
kita tidak terburu-buru untuk menjustifikasi seseorang berdasar perilakunya.
Jaro dalam terminologi
Masyarakat Banten
Baru-baru ini telah dideklarasikan Jaro Banten pada tanggal
11 September 2018 di Pendopo Masjid Ats Tsaurah Kota Serang beberapa tokoh
Banten seperti Embay Mulya Syarif, Taufik Nuriman, Taufiqurrahman Ruki, A’eng
Khairudin telah mendeklarasikan Jaro Banten dengan taglinne “ Jawara Banten Kabula, Kabale,
Kabalandongan, dengan tujuan utamanya adalah untuk menyatukan Urang Banten
dimanapun berada. Dari deklarasi tersebut sebetulnya dapat ditafsirkan bahwa
ada keterkaitan antara jawara disatu sisi dan jaro disisi lain bagai mata uang
yang tidak dapat dipisahkan,
Namun demikian bagaimanakah hubungan antara Jaro dan Jawara
tersebut, dapat dilihat apa yang telah disampikan oleh htttp://mbungsu4.blogspot.com/2011
dalam tulisan tersebut disampaikan Jaro adalah Kepala Desa/Lurah pada
masa Kasultanan Maulana Hasanudin di Banten, sehingga Jaro adalah Umaro yang
menjalankan pemerintahan daerah sebagai jalur dari Kasultanan Banten, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa Jaro dan Jawara satu kesatuan dalam tingkatan
pemerintahan terendah pada masa itu.
Jika ditarik kesimpulannya
Jawara/Tentrane Kyai, Jaro/Lurah/Kepala Desa adalah sebuah sistem
pemerintahan untuk tujuan utamanya dalam rangka menysukseskan program
Kasultanan Banten pada masa itu dan masih kental pada masa sekarang, sebagai
buktinya adalah telah beberapa kali dilakukan deklarasi Jaro untuk dukungan
secara informal dalam proses kelancaran pemerintahan pada masa ini dan masa
mendatang terutama di Wilayah Banten yang sangat religius dari pedesaan sampai perkotaan.
Maka dari itulah setelah kita memahami tentang apa itu
jawara, juara dan jaro dalam sudut pandang kultural di wilayah Banten,
tentunhya kita semua sebagai masyarakat Indonesia yang cinta NKRI akan
memahami bahwa sangat besar peran serta para Jawara untuk cita-cita Kemerdekaan
Republik Indonesia, maka wajib bagi kita untuk selalu mikul dhuwur mendem jero (silahkan dapat di lihat di blog saya
tentang ini) para jawara agar semakin lengkap khasanah kebangsaan pada diri
kita dan tidak mendikotomikan antara jawara, jaro dan juwara pada sebuah negara
besar Indonesia.
foto lokasi : Caping Park Baturraden, Purwokerto, Jateng.