Kamis, 19 September 2019

JAWARA, JARO DAN JUARA DALAM KEINDONESIAAN KITA


Ketika kita mendengar melihat dan membaca tentang kata Jawara maka yang terbersit dalam pikiran kita adalah mengarah kepada sesosok orang, tinggi besar, berkumis, pakaian serba hitam tak lupa terselip dipinggang golok yang siap diayunkan untuk memenggal siapapun yang menggangu atasnya, bahkan para jawara senantisa dikelilingi oleh perempuan-perempuan cantik sebagai perlambang kejantanannya, “jago wadon lan luhur”(tukang main perempuan dan tukang bohong)”jago wadon lan harta” tukang main perempuan dan tamak harta,  benarkah demikian? Dan  kenapa demikian buruknya persepsi sebagian kita terhadap jawara?
Atau adakah yang sengaja membuat persepsi  se-negatif ini? Atau bahkan memang kita tidak memahami benar tentang apa, seperti apa dan bagaimana awal mula seseorang disebut sebagai Jawara? Apalagi ketika kita berada pada wilayah Banten yang cukup banyak Jawara-Jawara, kenapa demikian?
Nah ini yang kemudian membuat penulis melakukan penelitian sederhana yang pada akhirnya menemukan beberapa hal yang sesungguhnya membuat penulis semakin yakin bahwa Jawara itu tidak bisa dipersepsikan negatif pada seseorang yang mendapatkan gelar tersebut, dan mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat menjadikan kita semua dan pembaca lainya atau para Jawara yang membacanya akan lebih arif dan lebih bijak dalam melangkah jika sudah mendapatkan gelar Jawara.
Baiklah mari kita awali dahulu tentang  apa siapa dan sepertiapa jawara itu, menurut salah seorng dekan UIN Maulana Hasanudin, Banten disampaikan bahwa jawara itu adalah murid dari para Kyai,  pada masa revolusi dahulu ketika melawan penjajahan dalam rangka bela negara untuk mempertahankan kedaulatan suatu wilayah para Kyai mempertahankan wilayah kepanjangan tangan dari Kasultanan di wilayahnya masing-masing, sehingga para murid disamping dibekali ilmu agama mereka juga diajarkan bela diri olah kanoragan, disamping itu para Kyai memiliki Pesantren-pesantren sebagai benteng terakhir untuk memobilisasi masa ketika Kasultanan Banten mendapat gempurn sangat dahsyat dari para penjajah baik bangsa Portugis maupun Belanda sehingga dalam budaya Banten waktu itu Jawara adalah khodim (pembantu) nya Kyai, atau lebih terkenal dengan sebutan Juwara/jawara iku tentrane kiyai (jawara itu tentaranya para Kyai).

Pergeseran makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif terjadi pada abad ke 19 ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh kekacauan dan perampokan yang tiada tara. Hal ini kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dimanfaatkan untuk membentuk stigma negatif kepada para pejuang dari kalangan pendekar persilatan dan kaum ulama. Stigma negatif ini sengaja diciptakan Belanda dalam upaya memprovokasi masyarakat untuk menganggap mereka sebagai     pembuat onar, pengacau, dan perampok. Sehingga mencap semua kaum jawara adalah bandit   dalam bentuk gerakan sosial, yang bermaksud melawan penjajahan asing dianggap sebagai onsluten (keonaran), ongergeldheden (pemberontakan), complot (komplotan), woelingen (kekacauan), dan onrust (ketidak amanan). Sejak saat itulah para pendekar persilatan dan ulama yang mengadakan perlawanan dianggap sebagai jawara, yang merupakan akronim dari jalma wani nga-rampog (orang yang berani merampok) atau orang yang berani menipu/pembohong (jalma wani nga-rahul). Konotasi negatif ini terus berkembang sampai abad ke 20, dan hingga kini tidak sedikit masyarakat yang termakan oleh stigma negatif penjajah Belanda tersebut.
Seiring dengan perkembangan waktu, Jawara yang merasa citranya terjebak dalam konotasi negatif masyarakat yang diciptakan Belanda, berusaha mengcounter dengan istilah jalma jago nu wani ramah (orang yang jagoan berani dan ramah). Tentu ada pula segelintir jawara yang memiliki perilaku negatif, namun hal ini dapat diselesaikan di dalam internal kelompok “kejawaraan” nya itu sendiri. Umunya dalam suatu organisasi kejawaraan terdapat aturan-aturan yang bersifat konvesional untuk menyelesaikan permasalahan, terutama terhadap jawara yang berperilaku negatif.


Jawara, Jagoan, dan Preman
Belum adanya pencatatan histographia mengenai awal mula kemunculan istilah jawara di masyarakat Banten dan Jawa bagian Barat, menyulitkan untuk diketahui secara pasti kapan dan dimana penggunaan istilah Jawara ini diberikan kepada seseorang yang memiliki kunggulan fisik dan supranatural, dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalannya. Begitupun halnya dengan istilah jawara itu sendiri. Penyusuran proses kemunculan istilah jawara baru terbatas pada sejarah sosial (budaya tutur) bersifat stamboom bukan geschiedenis atau history, yang secara akademis sukar untuk dipertanggung jawabkan.
Istilah jawara muncul sebagaimana yang diungkapkan RM Taufik Djajadiningrat, tatkala dimulainya pembangunan Jalan Raya Pos Deandles (1808-1811) antara Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan yang sangat merugikan rakyat ini menimbulkan pemberontakan dikalangan para pendekar persilatan, dikenal dengan peristiwa Perang Pertama. Dari peristiwa pemberontakan ini memunculkan julukan jawara yang ditujukan kepada mereka.
Dari stamboom yang ada, sebagian besar masyarakat sepakat untuk menunjuk daerah Banten sebagai tempat dimana istilah ini pertama kali muncul, karena jawara merupakan salah satu entitas masyarakat Banten yang sangat terkenal. Hingga dalam perkembangannya menyebar ke beberapa daerah yang melingkupinya termasuk Betawi, Bekasi-Pantura, Bogor dan Priangan bersamaan dengan dimulainya proyek pembangunan Jalan Raya Pos Deandles (RM. Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan Banten, 1995 : 121-122).
Pada awalnya istilah jawara memiliki makna sebagai jagoan, dengan pengertian jago dalam menyabung ayam dan bela diri pencak silat. Selain itu, mereka pun memiliki kemampuan untuk mempertontonkan ilmu kekebalan. Kemampuan-kemampuan itu dipergunakan oleh para jawara untuk membela dan menciptakan rasa aman dan ketenangan di lingkungannya. Kemampuan itu mereka miliki karena kedudukannya sebagai pemimpin informal di tengah-tengah masyarakat, baik semasa kerajaan Sunda, kesultanan Banten, maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Secara umum jawara memiliki definisi sebagai orang yang memiliki kepandaian bermain silat dan memiliki keterampilan-keterampilan tertentu. Berbeda dengan perampok atau pencuri, mereka adalah figur seorang yang mampu menjaga keselamatan dan keamanan desa, sehingga karenanya masyarakat menghormati keberadaan mereka. Pada umumnya, jawara sangat patuh kepada ulama, karena semangat dalam jiwa mereka diperoleh dari para kaum ulama. Di tanah Betawi sendiri hampir memiliki makna yang sama, namun istilah jawara bagi masyarakat natif Betawi berangkat dari istilah  “potong letter” lidah natif Betawi yaitu juware atau juara yang tidak terkalahkan dalam hal bela diri “maenpukulan” atau pencak silat.
Berbeda dengan Jagoan, kata ini berasal dari kata dasar “jago” yang menurut Ridwan Saidi merupakan loanword dari bahasa Portugis Jogo yang artinya champion atau juara (Ridwan Saidi, Glosari Betawi: 43). Disisi lain menurut tradisi lisan, jago merupakan istilah yang agak umum bagi golongan “tukang pukul” dan seorang yang suka berkelahi. Jagoan bernada lebih positif ketimbang istilah preman pada masa kini. Jagoan adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang berpengaruh dan disegani di kampungnya, orang yang kuat, tukang pukul dan pemberani. Secara hirarki, jagoan dianggap lebih rendah kedudukannya dibanding jawara. Karena sebagaimana seperti yang disebutkan di atas, jawara dapat dikatakan sebagai istilah lain dari pendekar, ksatria yang ditokohkan masyarakat sebagai orang yang suka memberikan perlindungan dan keselamatan secara fisik terhadap masyarakat, juga dianggap sebagai orang yang dituakan atau sesepuh.
Lalu bagaimana dengan preman?. Secara etimologi preman merupakan loanword dari bahasa Belanda, Vrijman yang bermakna “orang bebas” atau dalam bahasa Inggris disebut free man. Dalam Kamus Bahasa Indonesia akan kita temukan paling tidak 3 arti kata preman, yaitu: 1. swasta, partikelir, non pemerintah, bukan tentara, sipil. 2. sebutan orang jahat (yang suka memeras dan melakukan kejahatan) 3. kuli yang bekerja menggarap sawah. Secara umum istilah preman dapat disimpulkan sebagai sebutan pejoratif (kata sandang merendahkan) yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.
        Dari tiga terminologi di atas, hendaknya kita masih dapat membedakan makna, fungsi dan peranan masing-masing dalam masyarakat. Sehingga kita tidak terburu-buru untuk menjustifikasi seseorang berdasar perilakunya.

Jaro dalam terminologi Masyarakat Banten
          Baru-baru ini telah dideklarasikan Jaro Banten pada tanggal 11 September 2018 di Pendopo Masjid Ats Tsaurah Kota Serang beberapa tokoh Banten seperti Embay Mulya Syarif, Taufik Nuriman, Taufiqurrahman Ruki, A’eng Khairudin telah mendeklarasikan Jaro Banten dengan taglinne “ Jawara Banten Kabula, Kabale, Kabalandongan, dengan tujuan utamanya adalah untuk menyatukan Urang Banten dimanapun berada. Dari deklarasi tersebut sebetulnya dapat ditafsirkan bahwa ada keterkaitan antara jawara disatu sisi dan jaro disisi lain bagai mata uang yang tidak dapat dipisahkan,
          Namun demikian bagaimanakah hubungan antara Jaro dan Jawara tersebut, dapat dilihat apa yang telah disampikan oleh htttp://mbungsu4.blogspot.com/2011 dalam tulisan tersebut disampaikan  Jaro adalah Kepala Desa/Lurah pada masa Kasultanan Maulana Hasanudin di Banten, sehingga Jaro adalah Umaro yang menjalankan pemerintahan daerah sebagai jalur dari Kasultanan Banten, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Jaro dan Jawara satu kesatuan dalam tingkatan pemerintahan terendah pada masa itu.

          Jika ditarik kesimpulannya  Jawara/Tentrane Kyai, Jaro/Lurah/Kepala Desa adalah sebuah sistem pemerintahan untuk tujuan utamanya dalam rangka menysukseskan program Kasultanan Banten pada masa itu dan masih kental pada masa sekarang, sebagai buktinya adalah telah beberapa kali dilakukan deklarasi Jaro untuk dukungan secara informal dalam proses kelancaran pemerintahan pada masa ini dan masa mendatang terutama di Wilayah Banten yang sangat religius dari pedesaan sampai perkotaan.
          Maka dari itulah setelah kita memahami tentang apa itu jawara, juara dan jaro dalam sudut pandang kultural di wilayah Banten, tentunhya kita semua sebagai masyarakat Indonesia yang  cinta NKRI akan memahami bahwa sangat besar peran serta para Jawara untuk cita-cita Kemerdekaan Republik Indonesia, maka wajib bagi kita untuk selalu mikul dhuwur mendem jero (silahkan dapat di lihat di blog saya tentang ini) para jawara agar semakin lengkap khasanah kebangsaan pada diri kita dan tidak mendikotomikan antara jawara, jaro dan juwara pada sebuah negara besar Indonesia.


foto lokasi : Caping Park Baturraden, Purwokerto, Jateng. 

Jumat, 13 September 2019

DEBITUR UMI, MANAMBAH ENERGI SYUKURKU PADAMU



Syahdan perjalan ini adalah perjalanan pertamaku untuk menemui seseorang dan bahkan puluhan orang yang aku tidak kenal sama sekali, dari kultur budaya dan kebiasaan mereka, memang aku sudah dua tahun lebih tinggal di kota ini karena sesuatau hal aku bahkan tidak bisa berinteraksi dengan masyarakat di lingkungan kota yang menurutku sangat religius, dikarenakan setiap minggu aku  harus menemui keluargaku di kota lain dan beda provinsi.
Ini adalah kesempatan sangat berharga sebagai obat kerinduanku pada kota yang ku tinggali untuk mengetahui perjalananan sebuah kota menjadi besar dan menjadi ibu kota propinsi yang baru berdiri kurang lebih sebelas tahunan,  tentunya memiliki kelebihan diantara kota-kota lainya di wilayah provinsi ini,  memang masih muda dalam pemerintahan, tapi sangat tua untuk sebuah kota yang dahulunya adalah sebuah Kerajaan maju dengan Bandar Pelabuhan Lautnya terkenal seantero dunia waktu jaman itu.
Ya sebuah kota bandar perdagangan sembagai tempat bersandarnya kapal peredagangan dari negara tertangga, semua perdagangan baik hasil bumi dan rempah tumpah ruah sangat ramai dikunjungi kapal-kapal dagang tentunya akan menambah nilai keekonomian masyarakatnya waktu itu.
Nah pada hari ini dan hari-hari selanjutnya  perjalananku  ini pada setiap semester adalah berkeliling kota tersebut tidak sekedar jalan-jalan karena bukan juga untuk melepaskan penat kerjaan dikantorku, tapi ini adalah tugas yang diamanahkan kepada aku dan teamku di kota ini, hal yang baru bagi team ku dengan berbekal data yang ada dari sebuah aplikasi yang terintegrasi SIKP, aku dan team ku harus mendapatkan sedetil-detilnya tentang program yang telah digulirkan pemerintah sejak tahun 2017 dan menasional  yaitu Progaram Pembiayaan Ultra Mikro (apa itu Ultra Mikro silahkan pembaca dapat melihat  blogku ini dengan judul Pembiayaan Ultra Mikro),  pada awal tahun 2019 dengan adanya tugas baru dan sangat berbeda dengan tugas utama sebagai Kuasa Bendahara Umum Negara didaerah team ku dibelaki Bimbingan Teknis oleh Kantor Pusatku yang dihadiri oleh seluruh ujung tombak monitoring UMi dari seluruh Indonesia disebuah hotel Kawasan Jalan Muhammad Husni Thamrin atau yang terkenal dengan kawasan Thamrin Ibu Kota Jakarta, senang rasanya bisa berbagi cerita dengan teman-teman dari Aceh sampai Papua, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote, bahwa kita satu kata satu tujuan jaga serupiah APBN Indonesia.


Perasaanku mulai berkecamuk ketika saat perjalanku telah sampai ke sebuah kawasan penyalur Debitur Umi salah satu Koperasi yang tentunya sebagai pendamping team kami ketika melakukan tugas moniroring dan evaluasi penerima Pembiayaan UMi/Debitur UMi, aku berfikir bahwa ternyata benar apa yang disampaiakan oleh Dr. Muhammad Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia (ditetapkan dalam kongres ke II tahun 1953) dalam bukunya tahun 1971 “Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun” , menurut beliau karena tugas Negara adalah memakmurkan rakyat asas kekeluargaan dan bentuk uang yang paling cocok untuk Indonesia adalah usaha bersama dengan kekeluargaan. Di mana usaha bersama menurut Hatta adalah koperasi. Akupun berkesimpulan bahwa Founding Father kita telah berfikir sedemikian futuristik dalam rangka pengentasan kemiskinan, Koperasi sebagai penggerak Ekonomi Kerakyatan maka Pembiayaan UMi adalah “mesin” penggerak Ekonomi Kerakyatan tersebut di era ekonomi global yang serba digitalsisasi.
Akhirnya sampailah aku dan team beserta pendamping pada salah seorang Debitur yang mendapatkan pembiayaan UMi, aku samarkan nama Debitur ini ya pembaca, sebut saja Ibu Ceu beliau  lahir tahun 1980, lulusan Sekolah Dasar dengan anak dua satu SMP satu Taman Kanak Kanak, Suami Ibu Ceu ini adalah pekerja jual beli barang-barang bekas disekitaran kampungya bahkan sampai ke kota, pembiyaan UMI oleh Ibu Ceu digunakan untuk berdagang keliling kampung gorengan, buras, risoles, tahu isi, bakwan dan lain-lain.
Yang menarikbagiku dan team adalah berjualan mulai pukul 05.30 sampai dengan pukul 08.00 pagi dengan modal sehari Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan hasil penjualan sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) jam kerja hanya dua setengah jam keuntungan kotor sebersar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) dan sudah bertahan usaha Ibu Ceu ini sejak tahun 2010, apalagi dengan adanya  Pembiayaan UMi membuat usahanya terus berlanjut sampai sekarang, bahkan cita-cita utamanya adalah menyekolahkan anak setinggi-tingginya walau kondisi rumah masih sebagian plester dan sebagian keramik, tidak ada plafon, dengan 7(tujuh) penghuni rumah karena adik Bu Ceu beserta Istri dan satu orang anak ikut dalam satu rumah bersama, dua kamar tidur, kloset seadanya (maaf sensor), listrik sebulan hannya membayar lima puluh ribu rupiah!, cukup dan bisa.
Aku pun menerawang kembali ternya benar apa yang aku dapatkan dari berberapa literasi yang ku dapat tentang masyarakat kota ini adalah bekas Bandar Perdangan atau Pelabuhan perdagangan internasional waktu itu, membuat masyarakatknya terbiasa dengan usaha berdagang walau hanya berbekal modal tidak banyak akan tetapi semangat bertahan hidup dan bertahan untuk dapat meraih cita-cita menyekolahkan anak setinggi-tingginya, aku pun teringat akan Paweling Kanjeng Sunan Drajat Sapta Paweling  (tujuh pengingat)  yang disampaikan kembali oleh Sunan Giri kepada Pembesar Adipati Aryo Penangsang ( Cucu dari Raden Patah/Jing Bun Sultan Demak) pada saat berziarah kemakam Sunan Drajat sebelum berangkat Hijrah dengan para Pembesar Jipang Panolang ke Palembang (Negeri Sebrang) menjadi Sultan Disana setelah Adipati Pajang Hadiwidjaya menyerang Jipang Palolang, paweling ke-3 dari tujuh pengingat/Sapto Paweling itu adalah : Laskitaning Subroto tan Nyipta Mring Pringgabayaning Lampah, dalam perjalanan mewujudkan cita-cita tidak peduli dengan segala rintangan yang menghadang.


Peweling inilah kemungkinan besar turun temurun sampai ke Sultan Maulana Hasanudin waktu itu, dan akhirnya masyarakat di wilayahku melakukan Monev UMi ini akan terus menjalankan cita sampai pada tujuan, karen religiusitas merekalah paweling Sultan sampai sekarang mungkin secara tidak langsung mereka terus mempraktekannya, hal ini terpatri pada sepuluhan Debitur UMI dimana aku dan teamku melakukan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Ultra Mikro.
Sampailah pada suatu kesimpulan ku bahwa UMi adalah Motor Penggerak Ekonomi Keraknyatan Koperasi, dengan UMi kamipun bersyukur yang sedalam-dalamnya bahwa kami pun ber empati pada mereka, kami pun merasakan beratnya menjalani hidup mereka, kami pun merasakan nadi perjalanan hidup mereka, dan yang paling utama sembagai insan beragama apapun agama kita, bersyukur atas hari ini adalah sukses pada hari esok, semakin bersyukur maka akan ditambah kenikmatan dari sang Maha Kaya, Pembiayaan UMi adalah salah satu jalan agar kita pandai bersyukur.

Senin, 09 September 2019

“KASIH IBU SEPANJANG JALAN”




PEMBIAYAAN UMI UNTUK WIRAUSAHA


Kasih Ibu kepada beta,
Tak terhingga sepanjang masa,



Hanya Memberi tak harap kembali,
Bagaikan Surya menyinari dunia.

Bagi kita lagu di atas sudah sangat kita hapal semenjak di bangku Sekolah Dasar bahkan pada masa Taman Kanak-Kanakpun sudah diperdengarkan, lagu tersebut adalah gambaran cinta kasih seorang Ibu kepada anaknya, walau hanya singkat tetapi mengandung makna yang cukup dalam dan sangat luas, bagaimana tidak, seorang ibu dan wanita pada umumnya tidak pernah merasa lelah dari mengandung si buah hati sembilan bulan sepuluh hari, berat dirasakan sendiri, ringan dirasakan sendiri, sakitpun dirasakan sendiri bersama dengan buah hati, terbayang bukan, dalam kondisi panas hujan terik matahari mengandung bayi tanpa mengenal lelah, tiba saatnya waktu berlalu sembilan bulan sepuluh hari saat penantian telah tiba antara perjuangan hidup dan mati melahirkan si buah hati tersebut, maka Ibu hanya memberi tanpa harap kembali, bagaikan surya menyinari dunia.
Sejalan dengan Ibu kelahiran Pembiayaan Umi/Ultra Mikro sejak tahun 2017 mungkin juga diilhami dari lagu tersebut,  Pembiayaan UMi bagaikan surya menyinari dunia, tak terhingga sepanjang masa kenapa demikian? Hal ini dikarenakan Pembiayaan Umi sejatinya adalah menyediakan fasilitas pembiyaan yang mudah dan cepat bagi usaha Ultra Mikro serta manambah jumlah wirausaha yang difasilitasi oleh Pemerintah, tentunya Pemerintah Ibarat seorang Ibu hanya memberi tak harap kembali yang diberikan kepada para Ibu guna membantu meningkatkan penghasilan suami agar surya tetap bersinar dilingkungan keluarga.

                       

Tentunya syarat untuk mendapatkan pembiayaan UMi bagi usaha menengah kebawah sangatlah mudah karena  lebih kepada kekeluargaan, benarkah demikian?  syaratnya adalah tidak sedang dibiayai oleh kredit program pemerintah dibidang usaha mikro,kecil dan menengah yang tercatat dalam Sistem Informasi Kredit Program, memiliki Nomor Induk Kependudukan yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk  Elektronik atau Surat Keterangan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, dan jika syarat tersebut telah dipenuhi maka dapat diberikan Pembiyanaan Ultra Mikro kepada individu ataupun berkelompok.
Jika penerima Pembiayaan Ultra Mikro adalah individu atau perseorangan maka dapat dikenakan agunan sesuai dengan ketentuan Penyalur UMi, dan jika penerima pembiayaan adalah berkelompok tidak dikenakan agunan dan menerapkan mekasnisme tanggung renteng, maksimal pembiayaan tersebut sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).



Pemerintah dalam hal ini karena sebagai Ibu, maka tidak hanya memberikan begitu saja kepada Debitur UMi akan tetapi memberikan kewajiban kepada Penyalur dan Lembaga Linkage untuk melakukan pendampingan rutin bagi para Debitur berupa: pemberian motivasi, konsultasi terkait maju mundurnya  usaha Debitur, peningkatan kapasistas sumber daya manusia dengan memberikan pelatihan gratis pengelolaan keuangan usaha, pengawasan terhadap Debitur dan/atau bentuk pendampingan lainya dalam rangka proses peningkatan usaha Debitur.
Sebagai seorang Ibu Pemerintah telah memberikan segalanya untuk para usaha Mikro tadi, dari kemudahan mendapatkan pembiayaan, wajibnya pendampingan oleh penyalur sampai pada akhirnya Debitur dimanjakan dengan monitoring dan evaluasi pembiayaan Ultra Mikro  agar sasaranya tercapai yaitu peningkatan nilai keekonomian para Debitur UMi.
Dalam hal Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Ultra Mikro diberikan kewengan kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara/KPPN sesuai wilayah kerja masing-masing  di seluruh Indonesia, disamping sebagai Kuasa Bendahara Umum Negara/BUN di daerah KPPN sebagai instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan mendapatkan tugas melakukan monitoring dan evaluasi ketepatan data debitur yang didapatkan dari penyalur untuk penyaluran langsung dan lembaga linkage untuk penyaluran tidak langsung.
Setelah data debitur lengkap maka tugas KPPN selanjutnya sebagai kepanjangan tangan Pemerintah sekaligus sebagai Ibu adalah melakukan Pengukuran Nilai Keekonomian Debitur hal ini dilaksanakan untuk mengukur dampak pelaksanaan Pembiayaan Ultra Mikro terhadap Debitur, nah apa saja yang dilakukan pengukuran pertama Nilai Keekonomian Pribadi yaitu menggambarkan kondisi ekonomi Debitur dari aspek kesejahterahan, pendidikan, dan standar hidup Debitur dan kedua Nilai Keekonomian Usaha yang mencerminkan kondisi ekonomi Debitur dari aspek usaha, omset usaha, dan jumlah tenaga kerja Debitur.
Disihilah sesungguhnya kasih sayang seorang Ibu diberikan kepada anaknya berupa pembiayaan Ultra Mikro disamping diberikan kemudahan dalam mendapatkan pembiayaan Ultra Mikro, kemudian diberikan pendampingan dan tidak ditinggal begitu saja, akan tetapi di “openi” sampai berhasil meningkat secara ekonominya dengan diukur melalui survey baseline  survey yang dilakukan untuk mengukur nilai keekonomian Debitur pada masa awal pembiayaan Ultra Mikro dan survey endline survey yang dilakukan untuk mengukur perubahan nilai keekonomian Debitur dan survey ini dilakukan setiap semester oleh KPPN berkoordinasi dengan Penyalur/Lembaga lingkage.
Pada akhirnya para Debitur UMi akan meningkat secara keekonomian dan dapat menjadi Nasabah Kredit Usaha Rakyat/KUR yang Bankable, maka Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih UMi sepanjang usaha.